Agama Tradisional Orang Dayak
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah nama Negara kepulauan di Asia
Tenggara yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia. Indonesia
terkenal sebagai Negara yang memiliki berbagai macam suku, budaya, adat
istiadat, tradisi, dan bahasa.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan membahas tentang
Suku Dayak yang merupakan salah satu suku asli Indonesia. Mulai dari asal-usul,
mite, magi, struktur keagamaan, dan interaksi suku Dayak dengan agama-agama
lain.
B.
Asal Usul Orang Dayak
Kata “Dayak” pada
awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Kalimantan. Terutama
untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang umumnya memeluk agama Islam.
Di Kalimantan Timur penduduk asli yang memeluk agama Islam dan amat dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan zaman dulu dikenal dengan
sebutan Halok atau Halo’ atau orang Kutai. Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah penduduk
asli yang beragama Islam cenderung menggolongkan diri ke dalam kelompok suku
bangsa Banjar.[1] Sedangkan istilah “Dayak” merupakan sebutan bagi orang Dayak
yang non-Islam.
1
|
Suku Dayak
merupakan penduduk Kalimantan yang sejati, namun setelah orang-orang Melayu
dari Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur ke dalam dan lambat laun mereka hidup terpencar-pencar tersebar ke
seluruh pelosok wilayah Kalimantan, bahkan adapula yang mendiami pesisir pulau
Kalimantan. Semboyan orang Dayak adalah “menteng
ueh mamut” yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan, gagah berani,
serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.
Kelompok-kelompok
pertama yang masuk wilayah Kalimantan adalah kelompok Negrid
dan Weeddid, yang sekarang sudah pupus. Kemudian
disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Melayu
Proto. Perpindahan ini berlangsung selama 1000 tahun, antara 3000-1500 SM.
Lebih lanjut disebutkan bahwa sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi
berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau
Indonesia oleh kelompok Melayu Deutro.
Suku Dayak termasuk pada kelompok yang
bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan
keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan
di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo
China ke Jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di
Indonesia. Selain itu, ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni
melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, karena
pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga
dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang
memisahkan pulau-pulau itu. Migrasi menjadi salah satu sebab adanya berbagai
sifat yang berbeda dalam kelompok-kelompok suku Dayak, baik dalam bahasa maupun
ciri-ciri budaya mereka.[3]
Pada tahun 1977-1978, benua Asia dan pulau Kalimantan
yang merupakan bagian Nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras
Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan
melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut “Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang
hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian
masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam
yang berasal dari kerajaan Demak datang bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk
Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat yang sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari Nusantara,
bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan, seperti bangsa Tionghoa
diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci), dan peralatan keramik.[4]
Menurut Tjilik Riwut, suku Dayak terbagi
dalam tujuh suku besar dan beberapa suku kecil, yaitu
1.
Dayak
Ngaju
a.
Dayak
Ngaju, terbagi dalam 53 suku kecil,
b.
Dayak
Ma’anyaan, terbagi dalam 8 suku kecil,
c.
Dayak
Dusun, terbagi dalam 8 suku kecil,
d.
Dayak
Tawangan, terbagi dalam 6 suku kecil.
2.
Dayak Apu
Kayan
a.
Dayak
Kenya, terbagi dalam 24 suku kecil,
b.
Datak
Kayan, terbagi dalam 10 suku kecil,
c.
Dayak
Bahau, terbagi dalam 26 suku kecil.
3.
Dayak Iban
atau Heban (Dayak Laut) terbagi dalam 11 suku kecil.
4.
Dayak
Klemantan (Dayak Darat)
a.
Dayak
Klemantan, terbagi dalam 47 suku kecil,
b.
Dayak
Ketungan, terbagi dalam 40 suku kecil.
5.
Dayak
Murut
a.
Dayak
Murut, terbagi dalam 28 suku kecil,
b.
Dayak
Idaan (Dusun), terbagi dalam 6 suku kecil,
c.
Dayak
Tidung, terbagi dalam 10 suku kecil.
6.
Dayak Punan
a.
Dayak Basap,
terbagi dalam 20 suku kecil,
b.
Dayak Punan,
terbagi dalam 24 suku kecil,
c.
Dayak Ot,
terbagi dalam 5 suku kecil,
d.
Dayak
Bukar, terbagi dalam 3 suku kecil.
7.
Dayak
Ot-Danum, terbagi dalam 61 suku kecil.[5]
Meskipun terbagi kepada
ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang
khas. Ciri-ciri tersebut
ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau (senjata tajam sejenis parang), sumpit beliong (kapak Dayak), pandangan
terhadap alam, mata pencarian (berdagang, berburu, dan berladang), dan kesenian.
C.
Mite dan Magi Orang Dayak
1. Mite Orang Dayak
Di dalam mite orang Dayak, legenda,
dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa-dewa, roh-roh ghaib,
kekuatan-kekuatan sakti, berbagai tata kehidupan dan sebagainya. Sikap dan
pandangan hidup suku Dayak sebagian besar berdasarkan tradisi yang diwarisi
dari nenek moyang. Tradisi ini meliputi doktrin dan mite dalam memberikan
pedoman yang samar-samar, misalnya untuk membedakan antara dewa-dewa dan
roh-roh ghaib. Roh-roh ghaib ini pun tidak berbeda dengan roh-roh para leluhur
dan semuanya harus dipuja.
Untuk melihat kenyataaan-kenyataan
di atas, akan dikemukakan salah satu contoh mengenai mitos orang Dayak, yaitu kepercayaan
tentang kejadian alam, manusia, dan benda sakti.
Hampir disetiap suku bangsa di
Indonesia ini, mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai kejadian alam dan
manusia. Hal ini tidak terkecuali pada suku Dayak yang terdapat pula berbagai
variasi, menurut suku dan kelompoknya masing-masing. Variasi-variasi tersebut
dapat dipelajari melalui cerita-cerita atau mitologi suku Dayak, diantaranya
adalah mitologi tentang Ranying Pohatora
dan Peres, Batang Garing, Mandau, dan sebagainya.
a. Cerita tentang Ranying Pohatora dan Peres
Berdasarkan mitologi suku Dayak, manusia
itu diciptakan setelah Mahatalla selesai menciptakan alam semesta dengan segala
isinya. Setelah itu Peres[6] datang dan mendapatkan
manusia, terdiri dari pria dan wanita yang telah diciptakan oleh Ranying Pohatora[7]
dari telur yang ditemukan dalam pengembaraannya. Namun pada saat itu ciptaan Ranying
Pohatora belum sempurna karena belum mempunyai nafas dan tulang. Untuk
mendapatkan nafas dan tulang itu, Ranying Pohatora kembali mengembara untuk
mendapatkan nafas dan tulang dari batu.
Pada saat itulah Peres datang, lalu
dia membujuk Andin Ramban (istri Ranying Pohatora) agar mau memberikan nafas
yang tidak kekal, yaitu nafas dari angin dan tulang dari kayu. Hal ini menurut
Peres akan menguntungkan manusia itu sendiri, karena dapat hidup dan mati,
kemudian hidup dan mati kembali, begitu seterusnya.
Mendengar penjelasan Peres itu maka Andin
Ramban setuju, lalu mereka bekerja sama untuk menghidupkan manusia itu. Disaat
mereka sedang menghidupkan manusia itu, datanglah Ranying Pohatora, dia tidak
dapat marah karena diantara mereka ada istrinya sendiri. Meskipun manusia saat
itu sudah mempunyai nafas dan tulang itupun belum sempurna, karena belum
memiliki gigi, kuku, dan rambut. Dengan jiwa besar Ranying Pohatora
menyempurnakan wujud manusia tersebut.
b. Tentang Batang Garing
Cerita ini amat populer dikalangan
suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying
Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla
melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian
lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing[8]. Tak lama kemudian pohon
itu berubah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, berlian,
dan batu-batu mulia lainnya.
Setelah batang garing terbentuk,
lalu Jata melepaskan burung tinggang betina dari sangkar emasnya, kemudian
burung itu terbang dan hinggap diatas pohon itu dan memakan buah pohon itu. Melihat
kenyataan itu, Mahatalla melemparkan kerisnya yang bertahtakan emas dan
permata. Kemudian menjelma menjadi burung tinggang jantan, yang dinamakan
Tambariang lalu dia memakan buah pohon itu pula.
Kehadiaran kedua ekor burung di atas pohon batang garing itu, menimbulkan
kecemburuan dan keirian dikalangan mereka, lalu timbullah perkelahian yang
cukup dahsyat dan menurut kepercayaan suku Dayak perang ini disebut sebagai “perang suci”. Akibat perkelahian ini, makin
hancurlah pohon batang garing secara berkeping-keping dan dari
kepingan-kepingan itulah terjadinya manusia pria dan wanita.
Selain daripada itu terjelma pula
dua bahtera permata dan masing-masing mereka melayari satu. Bahtera pertama,
dinamakan Putir Kahukup Bungking Garing
(putri dari kepingan garing) dipergunakan oleh yang wanita. Bahtera kedua,
bernama Manjamei Limut Garing Balua
Unggom Tinggang (sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh tinggang)
dipergunakan oleh pria. Akibat pertempuran itu, kedua tubuh burung itupun
hancur lebur dan dari bagian-bagian tubuh itu terciptalah alam semesta, bersama
dengan isi-isinya, seperti hutan, rimba, gunung, bukit, sugai, laut, dan seluruh
hasil kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Setelah kedua manusia itu tercipta,
keduanya lalu melakukan pengembaraan di tengah-tengah laut, sampai pada
akhirnya si lelaki meminta si wanita menjadi istrinya. Si wanita bersedia
menjadi istrinya dengan beberapa persyaratan :
1) Si lelaki harus membuatkan sebuah dataran
untuk tempat tinggal mereka
2) Agar di atas tanah tersebut didirikan
rumah tempat mereka hidup.[9]
c.
Mandau
Mandau merupakan
senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas
dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya
karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan
jatidiri). Dahulu mandau memiliki mitos yang dipercaya masyarakat Dayak
mengandung unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti
perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau
dipercaya memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya
itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual
tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu
(sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil dikayau, maka mandau
yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk
menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena dikayau, maka
rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.[10]
2. Magi
Orang Dayak
Suku Dayak dikenal dengan ilmu
magisnya. Ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu mangaji
(berguru), balampah (bertapa), katuahan (keberuntungan), nupi (mimpi), minyak,
dan ada yang memang memiliki ilmu magis sejak lahir.
a. Mangaji atau Basurah
Mangaji atau Basurah adalah salah
satu cara untuk mendapatkan ilmu magis Dayak dari seorang guru dengan membayar
syarat yang disebut Sarat Panduduk. Bentuk
pembayaran syarat ini tentu mengikuti cara tertentu, intinya
pembayarannya tidak boleh lebih mahal atau lebih murah dari jumlah pembayaran
pada saat sang guru mengaji dengan gurunya. Jika terjadi penyimpangan oleh sang
guru baik tentang jumlah pembayaran maupun pemberian ilmu magis kepada muridnya,
hal ini akan mengakibatkan kematian. Sang guru akan mengajarkan ilmu kepada
muridnya sesuai jenis ilmu magis yang diinginkan dan sesuai pula dengan tingkat
pembayaran.
b. Balampah
Suku Dayak percaya dengan balampah
dapat bertemu dengan Dewa, Sangiang, ataupun arwah orang-orang yang sudah
meninggal. Biasanya suku Dayak melakukan balampah dengan tujuan untuk pergi
berperang, mengaji atau akan pergi merantau. Tempat yang dipilih biasanya
tempat yang dianggap keramat seperti kuburuan keramat, hutan angker, pahewan,
pangantuha, kuburan orang mati saat melahirkan, kuburan bayi yang mati ketika
baru lahir, air terjun, pohon beringin, gua batu, dan sebagainya.
Balampah atau bertapa dilakukan
dengan dua cara yaitu atas dasar mangaji atau atas dasar keinginan sendiri. Balampah
atas dasar mengaji biasanya dilakukan oleh murid bersama gurunya. Sang guru
akan menentukan tempat dan waktu yang tepat. Balampah dengan cara ini jauh
lebih mudah dibandingkan balampah atas dasar keinginan sendiri, karena disini
sang murid hanya duduk bersemedi mengikuti petunjuk gurunya. Sang guru akan memanggil
roh-roh yang diperlukan, setelah roh-roh ini datang maka sang guru akan menjadi
saksi antara muridnya dengan roh tersebut. Jika sang murid beruntung maka
roh-roh itu akan memberikan ilmu magisnya secara langsung sesuai permintaan.[11]
Balampah atas keinginan sendiri,
biasanya harus mencari tahu syarat-syarat apa saja yang diperlukan pada daerah
tertentu itu dari seorang juru kunci atau tokoh adat di sekitar tempat keramat
tersebut. Untuk waktu balampah, akan ditentukan oleh orang tersebut sendiri.
Orang yang balampah ini akan pergi secara diam-diam tanpa diketahui oleh
seorangpun sambil membawa persembahannya yang akan diberikan kepada Dewa atau
Sangiang, biasanya pada sekitar jam 8 malam menuju tempat yang telah
ditentukannya. Disaat menjalani tapa, biasanya ia akan mendapat banyak godaan
dari roh-roh ghaib di sekitar. Roh-roh tersebut akan datang dalam wujud
binatang seperti ular, ulat bulu, lipan, kalajengking, dan suara-suara yang
tidak diketahui asalnya. Jika orang tersebut berhasil melewati godaan tahap
pertama maka roh-roh ini selanjutnya akan muncul dalam rupa binatang-binatang
buas seperti harimau, macan, dan lain-lain. Bila orang ini mampu bertahan maka
akan muncul sosok seperti manusia yang tinggi besar, kadang hanya mendengar suara
yang tidak kelihatan orangnya dan kadang juga datang dalam bentuk nenek moyang
yang telah meninggal. Bila balampah sudah selesai maka pulangnya akan
diantarkan oleh Dewa, Sangiang, ataupun arwah leluhur.
Di Kalimantan Tengah tempat yang
terkenal untuk balampah adalah Bukit Batu dan Bukit Bondang di Puruk Cahu. Konon
jika ingin balampah di puruk Bondang harus membawa hati manusia yang baik.
c. Katuahan atau Kanuahan
Ilmu
yang diperoleh secara kebetulan disebut Katuahan
atau keberuntungan. Peristiwa ini tergolong langka, misal seseorang mendapatkan
kumala lipan, mendapat pelanduk bertanduk, kijang putih, ular berkepala dua,
dan benda-benda aneh lainnya yang dipercaya dapat memberikan kekuatan magis.
d. Nupi atau Mimpi
Orang
Dayak sangat percaya bahwa nupi atau mimpi mempunyai arti khusus atau dapat
juga dikatakan sebagai pertanda yang diberikan Ranying, Dewa, Malaikat, Sangiang
kepada manusia. Suku Dayak juga meyakini bahwa dengan mimpi, mereka dapat
bertemu dengan roh nenek moyang. Biasanya mimpi yang memiliki arti akan berupa
sebuah teka-teki. Orang yang mendapatkan ilmu melalui mimpi, ia akan didatangi
didalam mimpinya oleh roh dan memberikan petunjuk di suatu tempat terdapat
benda magis yang memiliki kemampuan khusus. Atas petunjuk yang cukup jelas yang
diterima melalui mimpi tersebut, orang yang bermimpi hanya tinggal mengambil
benda pemberian itu untuk dimanfaatkan.[12]
e.
Minyak dan
Kayu
Ilmu Dayak juga dapat diperoleh
melalui macam-macam minyak, ada yang dikenal dengan minyak bintang dan ada juga minyak besi yang
memberikan kekebalan, minyak main, dan minyak garak digunakan oleh orang yang
sudah lulus kuntau atau dikenal
dengan istilah batamat. Ada sangat
banyak jenis minyak yang digunakan oleh Suku Dayak. Minyak-minyak ini ada yang
ditelan dan ada juga yang digantung di mandau atau diikat dipinggang sebagai
Penyang. Selain minyak ada juga jenis kayu-kayuan yang digunakan sebagai ajian,
misal kayu kepot sala, kayu manang, dan lain-lain.
f. Ilmu Magis Sejak Lahir
Ilmu magis sejak lahir adalah ilmu
yang dibawa seseorang sejak lahirnya, ini sesuatu yang jarang terjadi. Bagi
kalangan Dayak Benuaq dan Tunjung salah satu yang diyakini adalah apabila anak
lahir bungkus atau terbungkus dengan selaput dalam bahasa Dayak Ngaju
disebut Kalubut atau Suut dalam bahasa Benuaqnya, maka konon
ia memiliki kembaran seekor buaya. Untuk membuka selaputnya harus dengan
hati-hati menggunakan padi atau ilalang dan tata cara tertentu. Jika bungkus
ini dibuka dengan benda lain maka ilmu yang seharusnya didapat oleh bayi
tersebut menjadi tidak berfungsi atau gagal. Konon orang yang memiliki ilmu
yang dibawa sejak lahir ini maka tidak ada ilmu magis yang mampu menyamai atau
menandinginya. Menurut penelitian peristiwa langka ini banyak terjadi pada
bayi-bayi yang lahir premature. Hal ini merupakan kejadian yang terjadi diantara
1 banding 80.000 bayi.[13]
D.
Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan Ajarannya)
Kaharingan berasal
dari bahasa Sangen (Dayak kuno), yang berasal dari kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau hidup, dilambangkan dengan
Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon ini berbentuk seperti tombak dan
menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon terdapat guci berisi air suci yang
melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci
sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu
kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Tempat bertumpu Batang
Garing adalah Pulau Bantu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia
pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Dengan demikian orang-orang Dayak
diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena
tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas yaitu di Lawu Tatau.[14]
Kaharingan merupakan agama asli suku Dayak,
yang biasa disebut dengan agama Hindu Kaharingan. Agama ini berbeda dengan
agama Hindu Bali, tetapi masih merupakan bagian dari agama Hindu Dharma yang
telah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. Agama Kaharingan memuja
roh-roh ghaib, roh-roh leluhur mereka, ataupun roh-roh lainnya. Mereka juga
percaya bahwa seluruh benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya
berjiwa dan berperasaan seperti manusia, serta adapula diantara benda-benda
tersebut yang mereka percayai mempunyai kekuatan sakti.
Penamaan Hindu Kaharingan tampaknya
tidaklah dimaksudkan agar mereka menyembah dewa-dewa orang Hindu Bali seperti
Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, melainkan mereka menyembah roh-roh ghaib dan roh-roh
nenek moyang mereka sendiri. Demikian juga halnya suku Dayak, tidak ikut
merayakan upacara-upacara agama Hindu Bali, seperti Nyepi, Galungan, Kuningan,
Saraswati, dan lain sebagainya, bahkan mereka tidak mengenal sama sekali
istilah Sang Hyang Widhi, yaitu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dikalangan
penganut Hindu Bali. Mereka hanya mengenal Tuhan mereka adalah Ranying Hatalla Langit atau Raja Tontong Matanandu Kanarohan Tambing
Kabanteran Bulau (penguasa alam atas) dan Bawing Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah).[15]
Agama Kaharingan percaya pada satu
Tuhan yang disebut dengan Ranying Hatalla
(Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Basarah
merupakan upacara sembahyang bagi umat Kaharingan yang dilakukan setiap hari
Senin dan Kamis, waktunya pada sore hari yaitu di kala matahari
akan tenggelam. Tempat pertemuan semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan seperangkat
aturan adalah:
1. Panuturan Karak Tungkup (awal dari segala
kejadian) sejenis kitab suci
2. Talatah Basarah atau Kandayu (kumpulan
doa)
3. Tawar (petunjuk tata cara memina pertolongan
Tuhan dengan upacara menabur beras)
4. Pemberkatan perkawinan
5. Buku penyumpahan atau pengukuhan untuk
acara pengambilan sumpah jabatan.[16]
Menurut
Koentjaraningrat, agama kaharingan memiliki empat unsur pokok yaitu[17] :
1. Emosi keagamaan
Emosi
keagamaan ini memiliki unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan atau
aktifitas keagamaan yaitu yang pertama,
adanya kesadaran akan makhluk-makhluk halus yang merupakan roh-roh nenek moyang
mereka yang belum dibebaskan dari ikatan dunia melalui upacara tiwah. Karena
menurut kepercayaan orang Dayak, orang yang sudah meninggal dan belum diadakan
upacara tiwah, maka rohnya masih berada di alam dunia bahkan di sekitar
kerabatnya. Kemudian setelah diadakan upacara tiwah, barulah liau memiliki tempat
tinggal tetap.
Kedua, perasaan takut akan krisis dalam
hidup. Hal ini timbul akibat ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi masa-masa
krisis dalam kehidupannya, misal ketika seorang wanita hamil kehilangan bayi di
dalam kandungannya, tanpa tahu sebab atau akibat yang dapat dilihat. Akibatnya
wanita tersebut mengalami shock berat dan mengalami pendarahan fatal yang mengakibatkan
wanita itu meninggal.
Ketiga, kepercayaan terhadap
gejala-gejala alam. Gejala-gejala alam seperti banjir besar, gempa bumi, dan
sebagainya tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal fikiran mereka. Seperti
yang pernah terjadi di daerah Tanjung Jariangau yaitu banjir besar yang
berhasil menghanyutkan rumah-rumah penduduk dan menghilangkan beberapa nyawa. Keadaan
ini mendorong penduduk Tanjung Jariangau yang masih hidup untuk pindah ke desa
Pemantang.
Keempat, kepercayaan terhadap kekuatan
sakti. Mereka percaya akan adanya kekuatan sakti dalam alam yang dapat
menyusahkan dan menggangu hidup mereka. Tetapi kekuatan itu juga dapat
dipengaruhi dan dikendalikan oleh ilmu ghaib, seperti yang digunakan oleh para
balian atau dukun untuk diminta bantuannya, misal untuk menyuburan tanah
pertanian, menyembuhkan penyakit, mendatangkan hujan, atau mengusir hujan.
Kelima, adanya emosi solidaritas dalam
masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud adalah emosi kesatuan antar masyarakat
menggelora, misalnya pada masa pelaksanaan upacara keagamaan, terutama upacara
tiwah. Upacara ini wajib dilaksanakan seluruh anggota keluarga, bahkan
masyarakat sekeliling juga ikut terlibat didalamnya sehingga terjadi kesatuan
dan persatuan antar keluarga dan masyarakat.
Keenam, kepercayaan akan adanya dewa
tertinggi. Suku Dayak percaya akan adanya dewa atau roh ghaib yang menduduki
posisi tertinggi yang mendiami alam atas dan alam bawah.[18] Ada empat nama dewa atau
roh ghaib yang mendiami alam atas yang menjadi sebutan orang Dayak, yaitu
a) Bungai
atau Tingang, istilah ini berasal
dari nama burung yang dianggap mempunyai kesaktian. Nama ini menurut bahasa
asli suku Dayak.
b) Raja
Tontong Matanandan, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja Penjuru Matahari, Pangeran
kelengkapan Bulan. Nama ini juga menurut bahasa asli suku Dayak.
c) Mahatara.Sebutan
Mahatara mendekati istilah Hindu yaitu Maha-Batara,
yang menurut istilah Suku Dayak Ot-Danum disebut Pohatora.
d) Mahatalla,
yang dalam bahasa sehari-hari disebut Hatala,
Lahatala, atau Alatala. Istilah tersebut mendekati istilah Islam yaitu Allah Ta’ala.[19]
Sedangkan
yang mendiami alam bawah disebut Basuhun
Bulau Rabia yang berarti sungai emas, yang mengalirkan segala kekayaan dan
kebahagiaan. Roh-roh tersebut dikenal baik oleh suku Dayak. Nama lain yang
biasa disebut juga oleh orang Dayak untuk roh ini adalah:
a)
Tambon, yang berwujud naga atau ular sakti yang melambangkan kelamin betina sebagai perlambang
kesuburan tempat memohon berkah, misalnya untuk mendapatkan keturunan bagi
orang yang belum mempunyai anak.
b)
Bawin Jata Balawang Bulau
(wanita Jata berpintu permata). Dalam bahasa sehari-hari disebut Jata dan menurut istilah suku Dayak
Maanyan disebut Diwata.[20]
2. Sistim kepercayaan
Sistim
kepercayaan suku Dayak meliputi kepercayaan kepada dunia ghaib,
kekuatan-kekuatan sakti, penyakit dan kematian, kehidupan sesudah mati, dan
mitologi.
Di
dalam dunia ghaib ini suku Dayak percaya akan adanya makhluk-makhluk ghaib yang
tidak dapat terjangkau oleh panca indra manusia dan kekuatan-kekuatan sakti
yang tidak bisa dikuasai oleh manusia biasa, yang bisa hanyalah para balian,
dukun, ataupun para tukang sihir. Makhluk ghaib yang sakti itu dinamakan ganan.
Berikut roh-roh yang dekat dengan
kehidupan manusia yaitu :
1)
Ranying
Hatalla
Merupakan sumber dari
segala sesuatu yang ada dan tidak ada, yang merupakan zat pertama dan terakhir
mendiami alam semesta.
2)
Jata
Merupakan zat yang
diciptakan dari bayangan Ranying Hatalla di bawah langit (bumi). Jata dapat
memberi berkat dan rezeki yang berlimpah kepada manusia. Jata bersama dengan
Ranying Hatalla, menciptakan bumi selama 7 hari, yaitu: (a) hari pertama
menciptakan bumi; (b) hari kedua menciptakan air; (c) hari ketiga menciptakan
pohon atau tumbuhan; (d) hari keempat menciptakan laut atau lautan; (e) hari
kelima menciptakan awan atau angkasa dan pelangi; (f) hari keenam menciptakan
langit, bulan, binatang, matahari, dan segala isinya; dan (g) hari ketujuh
menciptakan cakrawala langit, siang, malam, memisahkan bumi, langit, dan laut
dengan segala isinya.
3)
Raja
Tuntung Tahaseng
Raja Tuntung Tahaseng
bersemayam di atas langit dan oleh Ranying Hatala diberi tugas untuk
memperhatikan umur manusia.
4)
Janjahulung
Tatu Riwut
Janjahulung Tatu Riwut
bersemayam di atas langit dan bertugas untuk memperhatikan nafas manusia, dia
terkenal dengan sebutan roh nafas.
5)
Gamala
Tajan Tanggara
Roh ini bertugas
memperhatikan nafas manusia dan dikenal juga sebagai roh angin ribut atau
topan.
6)
Sangsaria
Anak Nyahu Menteng
Bertempat di langit,
bertugas memelihara dan menguasai guntur dan kilat.[21]
7)
Tamanang
Tarai Bulau
Tinggal di atas langit
dan bertugas membantu ketiga saudaranya (Janjahulung Tatu Riwut, Gamala Tajan
Tanggara, Sangsaria Anak Nyahu Menteng).
8)
Raja
Mandurut Untung
Tinggal di atas langit
dan bertugas memelihara, memberi dan memperhatikan rezeki manusia.
9)
Raja
Pamise Andau
Bersemayam di atas langit
dan bertugas menghitung-hitung hari atau waktu manusia hidup sampai meninggal
dunia.
10) Manyamai Malinggar Langit
Dia adalah seorang
manusia laki-laki pertama yang hidup di muka bumi. Dia diciptakan dalam keadaan
telanjang, Jata-lah yang memberinya pakaian. Dia bertugas memelihara dan
menguasai segala sesuatu makhluk (binatang dan tumbuhan) yang ada di atas tanah
dan segala sesuatu yang berada di bawah langit.
11) Kamelu Baja Humat Hintan
Dia merupakan kembaran
Manyamai Malinggar Langit yang memiliki tugas yang sama dengan kembarannya.
Bedanya Kamelu Baja Humat Hintan adalah seorang wanita.
12) Indu Sangumang
Dia adalah roh dari anak
Nabi Sulaiman yang bersemayam di hutan darat. Dia menampakan wujud dirinya
menyerupai manusia laki-laki bermata bulat, dia bersifat baik dan suka menolong
orang-orang yang tersesat di dalam hutan. Diapun dapat memberi rezeki kepada
manusia.
13) Kangkalingen Ranying
Dia adalah roh penguasa
air, bisa dikatakan sebagai pembantu Jata dalam memelihara makhluk-makhluk yang
hidup di dalam air.[22]
14) Raja Palimbahan
Roh ini adalah seorang
laki-laki yang meninggal yang berasal dari Banjarmasin, sifatnya baik dapat
mengobati orang sakit dan memberi rezeki.
15) Bawin Urang Urei
Dia adalah roh penunggu hutan.
Wujudnya seperti perempuan, sifatnya baik dan dapat memberi rezeki kepada orang
yang meminta pertolongannya.
16) Raja Salungkit Bulau
Roh ini adalah roh orang
laki-laki yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Roh ini dapat memberi
rezeki dan mengenali penyakit.
17) Raden Pampang
Roh ini adalah roh orang
yang meninggal, berasal dari Banjarmasin. Dia roh yang baik, dapat memberikan
rezeki, dapat mengenali, dan menyembuhkan penyakit, dan dapat memberikan
pertolongan bagi orang yang minta tolong.
18) Putri Ulak Nayang
Roh ini adalah istri dari
Raden Pampang, keduanya bersemayam di dalam air. Roh ini bersifat lemah lembut,
suka menolong, dapat memberi rezeki, dan dapat menyembuhkan penyakit.
19) Eteng
Roh ini adalah roh orang
yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Dia berwujud perempuan yang
lucu dan sifatnya bisa baik dan juga bisa mencelakakan.[23]
20) Nyahu Papamu Taliwu Santep Dandang Tajahan
Roh ini adalah roh
penjaga kampung. Dia tinggal di dalam rumah kecil yang dinamakan Pasah Pangatuhu yang dibuatkan oleh umat
Kaharingan yang ditempatkan di sebelah kanan pekarangan rumah untuk melindungi
penduduk kampung dari roh-roh jahat.
21) Pampahilep
Roh ini adalah roh
penunggu hutan yang berwujud gadis cantik berambut panjang. Dia dapat bersifat
baik dan jahat.
22) Nyaring
Roh ini merupakan roh
yang paling jahat (ganas) yang berwujud seperti laki-laki berambut merah
berbadan besar dan tinggi. Sifatnya menyakiti manusia dan berada di dalam
hutan.
23) Bawin Kamiak (Kangkamiak)
Roh ini adalah roh
penunggu hutan, roh ini termasuk jahat, dapat menyesatkan dan menggoda
laki-laki karena wujudnya merupakan seorang wanita cantik yang memiliki kuku
tajam.
24) Bawin Kulang Kulit
Roh ini adalah roh jahat
penunggu hutan. Wujudnya menyerupai wanita cantik, memiliki kuku panjang, bisa
menyesatkan, dan menyakiti orang saat berada di hutan. Dia juga dapat
menampakan wujudnya berupa burung kulang kulit.
25) Bawin Kalabawa
Roh ini adalah roh jahat
yang tinggal di hutan. Dia menyerupai wanita cantik dan menumpangi burung
kalabawa. Bagi umat Kaharingan, burung kulang kulit, kalabawa, dan burung
kumiak dianggap sebagai binatang totem[24].
26) Bawin Kariau
Roh penunggu hutan ini
bersifat baik, suka menolong orang, dan dapat memberi petunjuk bagi orang yang
tersesat di hutan. Dia menyerupai wanita berbadan kecil dan sering terlihat
berjalan di hutan.[25]
27) Bahutai
Roh ini adalah roh ganas,
jahat, dan dapat menyakiti orang di hutan. Dia dapat bersahabat dengan
orang-orang jahat pula untuk menyakiti orang lain. Dia menyerupai anjing hitam
atau merah berbadan tinggi dan besar.
28) Buhai
Roh ini adalah roh yang
meninggal yang berasal dari Basirih. Roh ini dapat bersifat baik dan jahat.
29) Jin Rambe Hai
Jin Rambe Hai adalah roh
halus yang berada di muara-muara sungai, sifatnya dapat baik maupun jahat. Pada
malam hari roh ini mendatangi kampung yang ditandai oleh suara lolongan anjing.
30) Rajan Pali
Roh ini adalah roh ghaib
penunggu kuburan, dia memiliki sifat baik dan jahat.
31) Gila Lontar
Roh ini merupakan roh
orang yang meninggal dunia yang berasal dari hulu sungai Kapuas. Roh ini berada
di darat. Sifatnya baik, bisa menolong orang sakit dan memberi kemampuan luar
biasa kepada orang yang disurupi.[26]
Dari
beberapa penjelasan mengenai roh-roh yang memiliki kemampuan dan sifat-sifat
berbeda terlihat bahwa manusia terutama umat Kaharingan harus menjaga hubungan
baik dengan roh-roh yang memiliki sifat baik maupun jahat. Menjaga hubungan
baik dapat dilakukan melalui upacara, saji-sajian, pengorbanan, serta taat dan
patuh akan anjuran maupun larangan yang berlaku sesuai adat masyarakat terutama
umat Kaharingan tersebut.
Orang
Dayak juga melakukan hubungan baik dengan roh-roh ghaib guna mengambil hatinya
supaya terhindar dari penyakit dan kematian. Karena mereka percaya dan meyakini
bahwa penyakit dan kematian merupakan dua hal yang sangat erat dengan roh-roh
ghaib. Namun upaya ini ada kalanya berhasil dan tak sedikitpun yang gagal,
sehingga kematian tidak dapat terhindarkan.
Suku
Dayak juga mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan pertama dan
masih ada kehidupan selanjutnya yaitu alam baka. Dengan demikian apa yang
terjadi setelah manusia meninggal, kemana roh mereka akan pergi, bagaimana
mencapai kehidupan dunia dan akhiratnya, serta makna dari upacara-upacara
kematian yang dilakukan semuanya sesuai dengan ajaran agama Kaharingan.
3. Sistim upacara keagamaan
Menurut
kepercayaan suku Dayak, makhluk-makhluk ghaib dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu: (a) roh ghaib yang menduduki tempat utama, seperti Ranying Hatalla
Langit, Bawin Jata Balawang Bulau, serta beberapa pembantunya; (b) roh-roh
ghaib yang bersifat baik, seperti roh-roh nenek moyang mereka sendiri dan
roh-roh orang yang meninggal dengan tenang atau mayat yang sudah dilakukan upacara
tiwah; (c) roh-roh ghaib yang bersifat jahat merupakan roh-roh yang tidak tahu
darimana asalnya, roh-roh para leluhur yang mati penasaran, dan orang-orang
yang meninggal yang terlambat atau tidak dilakukan upacara tiwah.[27]
Pengelompokkan
tersebut diterapkan dalam bagaimana mereka memperlakukan roh-roh ghaib tersebut
dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Misalnya saat mereka melakukan upacara
penghormatan terhadap roh-roh utama (dewa-dewa), biasanya upacara ini dilakukan
secara besar-besaran yang didukung oleh peralatan upacara yang mereka anggap
memiliki kekuatan sakti, seperti gong, beras, dan pelaksanaan upacara
pengorbanan beberapa ekor binatang besar, seperti kerbau, sai, ataupun babi.
Upacara ini dilakukan berdasarkan rasa cinta, hormat,bakti, dan segan.
Penghormatan
kepada roh-roh baik, termasuk roh nenek moyang dapat dilakukan sendiri-sendiri
tanpa perantara balian atau basir, dengan diikuti sajian-sajian
berupa makanan. Upacara ini biasanya dilakukan sebagai ucapan terimakasih
kepada roh-roh tersebut karena berkat pertolongannya, mereka terhindar dari
berbagai macam mala petaka.
Sedangkan
penghormatan terhadap roh-roh jahat dilakukan berdasarkan perasaan takut, ngeri,
dan memandang rendah. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon agar roh-roh
tersebut tidak mengganggu atau bisa juga mereka memberikan hukuman terhadap
roh-roh tersebut atas perbuatan jahatnya. Sajiannya dalam upacara ini biasanya
berupa makanan, seperti lemang, ketan, telor, dan sebagainya.[28]
4. Kelompok keagamaan
Kelompok
keagamaan dalam suku Dayak terwujud melalui adanya pelaksanaan upacara tiwah. Karena
upacara tiwah ini merupakan upacara yang wajib dilaksanakan oleh semua anggota
keluarga, upacara tiwah ini menjadi pendorong terwujudnya kelompok keagamaan. Dalam
pelaksanaan upacara ini terjadi pertemuan antara banyak orang, baik dari semua
anggota keluarga maupun orang-orang sekitar. Kesempatan itu mereka gunakan
untuk melepaskan kerinduan dengan bersenda gurau dan membicarakan
masalah-masalah keluarga, seperti perkawinan, warisan, dan masalah keluarga
lainnya.[29]
Dengan demikian
struktur keagamaan orang Dayak asli yaitu agama Kaharingan yang percaya akan
adanya roh-roh ghaib, kekuatan sakti, kematian, kehidupan setelah kematian, dan
kepercayaan akan tanda-tanda tertentu seperti tanda-tanda yang diperlihatkan
oleh hewan, alam, mimpi, maupun lainnya. Umat Kaharingan sering mengikut
sertakan balian sebagai pemimpin dan
perantara dalam pelaksanaan keagamaan, misal dalam pelaksanaan upacara-upacara
tertentu, sembahyang, dan kegiatan lainnya yang tidak bisa dilakukan oleh
manusia biasa.
E.
Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak
Bagi masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman
Kalimantan, memiliki dua makna dalam penyelenggaraan upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna religius adalah sebagai penghormatan
terakhir dan pensucian arwah sekaligus
mengantarkannya ke dunia yang abadi. Sedangkan makna sosial sebagai media
berinteraksi antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya.
Bagi orang Dayak, orang yang mati diadakan dua macam
penguburan, yaitu upacara kematian biasa (ritus
penguburan) dan pesta kematian yang
disebut tiwah[30]. Upacara kematian
dimaksudkan untuk memimpin liau[31] ke tempat peristirahatan
sementara, yaitu Bukit Pasahan Raung.
Para liau menunggu hingga diadakan upacara kedua yaitu upacara tiwah. Upacara tiwah ini tidak boleh
diabaikan, karena apabila diabaikan akan mendatangkan bencana kepada keluarga
yang masih hidup. Upacara ini merupakan upacara pemakanan terakhir yaitu dengan
memakamkan tulang-tulang sang wafat di tempat peristirahatan tetap yang disebut
sandong.[32]
1. Upacara Kematian Biasa (ritus penguburan)
Upacara kematian biasa atau
penguburan sementara merupakan langkah penguburan orang yang telah meninggal
dunia sebelum dilakukan upacara tiwah oleh anggota keluarga. Mayat orang yang
telah meninggal, tidak langsung dikuburkan, melainkan disemayamkan di dalam
rumah selama tiga sampai tujuh hari. Hal ini dimaksudkan supaya para kerabat
yang datang bisa bertemu dengan mayat tersebut. Mayat tersebut diletakkan di
dalam peti mati di tengah-tengah ruangan rumah dengan kepala menghadap ke
sebelah barat dan kaki ke sebelah timur.
Setelah tiba masanya mayat
dimakamkan, maka balian memulai acara dengan membacakan mantera dengan suara
seperti bernyanyi yang sangat sedih. Dalam nyanyian itu biasanya balian mengisahkan
kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan oleh mayat tersebut selama masa
hidupnya. Sebelum peti mati diusung ke luar rumah, semua keluarga dekat diminta
untuk memegang tangan balian seperti orang bersalaman, barulah mayat
diberangkatkan dari rumah.
Prosesi pemakaman diawali dengan
pembacaan doa yang dipimpin oleh balian. Kemudian peti mati dimasukkan ke dalam
lubang dan bersamaan dengan dimasukkannya pula kepala-kepala manusia hasil pengayauan[33] atau kepala binatang
sebagai pengganti.
Selesai prosesi penguburan, anggota
keluarga dari mayat tersebut bergembira ria, perbuatan demikian dimaksudkan
agar mayat dapat disambut oleh para roh di alam baka dengan suasana yang
meriah. Selain itu, upacara bergembira ria ini dimaksudkan pula agar keluarga yang
ditinggalkan tidak merasa sedih dan kesepian. Upacara ini dilakukan selama tiga
hari tiga malam atau sampai tujuh hari tujuh malam.
Pada hari terakhir, upacara gembira
itu ditutup oleh balian dengan pembacaan doa. Kemudian diadakan upacara
penyembelihan binatang dan makan bersama diantara orang sekampung. Upacara ini
dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih atas perlakuan mereka terhadap prosesi
penguburan si mayat. Serta mengundang para roh dan menggembirakan mereka agar
bersedia menerima kedatangan arwah si mayat di alam roh.[34]
2. Pesta Kematian (tiwah)
Pesta kematian tiwah sangat membutuhkan biaya yang sangat besar karena kesakralan
upacara ini membutuhkan berbagai macam perlengkapan yang tidak sedikit
jumlahnya. Upacara ini dilakukan selama tujuh hari tetapi persiapannya
dilakukan dari bulan-bulan sebelumnya, seperti mendirikan tempat upacaranya,
membuat tempat pemakaman tetap (sandong),
belanja perlengkapan, menumbuk padi, dan persiapan lainnya. Hal ini dilakukan
karena pelaksanaan upacara tiwah tidak hanya dilakukan untuk satu orang wafat
tetapi dilakukan untuk berpuluh-puluh orang wafat, karena semakin banyak
upacara ini dilakukan oleh banyak orang wafat semakin ringan biaya yang
dikeluarkan oleh masing-masing keluarga orang wafat. Dengan ini membuat tamu
yang akan mengikuti upacara tiwah dari masing-masing anggota orang wafat
terkumpul dengan jumlah besar sehingga jamuan yang disediakanpun harus dalam
jumlah besar.
Tiga hari sebelum tiwah
dimulai, orang menjemput sang wafat yang mula-mula dimakamkan untuk sementara
dengan suatu pawai. Tulang-tulang sang wafat yang berada di dalam peti dibawa
ke balai. Setelah peti-peti jenazah ditempatkan di balai, seluruh desa dan
sungai dinyatakan najis. Dimulailah pali[35] selama tujuh hari.
Perbatasan desa dan sungai diberi rintangan rotan sebagai tanda bahaya. Berikut
urutan acara pesta kematian tiwah selama tujuh hari:
Hari pertama,
perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Untuk keperluan ini,
seekor kerbau disembelih. Hari pertama disebut juga hari pesta perempuan. Menjelang malam dimulailah upacara yang
disebut magah liau, yaitu
menghantarkan panyalumpok liau[36] ke alam akhirat. Upacara ini terdiri dari seorang imam sebagai
perantara Tempon Telon yang menjadi
pemimpin liau dalam melakukan
perjalanan ke alam akhirat. Upacara ini berakhir pagi hari, menandakan waktu
bahwa jiwa para wafat sudah tiba di lewu
liau[37].
Hari kedua,
merupakan hari korban manusia yang disebut
andau kabalik. Korban manusia ini diganti dengan korban kerbau. Korban ini dimaksud
untuk membuat jiwa budak itu melayani para wafat di alam baka.
Hari ketiga,
dilakukan magah liau karahang yaitu
pemakaman tulang-tulang para wafat ke dalam makam yang tetap. Para wafat
dimandikan di dalam kolam air hidup untuk mendapatkan hidup yang baru di dalam
dunia nenek moyangnya, kemudian dibersihkan menggunakan kain bersih.
Hari keempat,
diperuntukkan bagi para perempuan lagi. Mereka mempersiapkan makanan untuk
pesta berikutnya, yaitu puncak tiwah.
Hari kelima,
yang disebut andau laboh, perkabungan
dan pali berakhir. Seluruh suku
diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada di alam orang
hidup. Untuk berkumpul, orang yang sudah mati, biasanya diwakili oleh
orang-orang yang memakai topeng. Hari ini dimulai dengan malalohan yaitu pemberian hadiah dari masyarakat desa tetangga,
biasanya mereka membawa beras, tuak, buah kelapa, binatang untuk korban, uang,
dan sebagainya.
Hari keenam
dan ketujuh adalah hari pensucian
semua orang yang ikut serta di dalam perayaan tiwah ini. Hari itu dinamakan Hari Menggetu Rutas Pekasindus, yaitu
hari melepaskan segala kesialan dan seluruh halangan-halangan yang mungkin
timbul, sehubungan dengan kepergian liau
atau arwah menuju alam baka. [38]
F.
Kesenian Suku Dayak
Suku
Dayak memiliki berbagai macam kesenian, seperti seni tari, seni suara, seni
lukis, dan kesusasteraan. Kesenian suku Dayak tidak hanya bernilai seni tetapi
juga mengandung nilai-nilai ritual keagamaan. Seperti halnya seni tari yang
sering dilakukan saat pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang biasanya
tarian ini merupakan bentuk penyambutan dan penghormatan atas kehadiran roh-roh
yang dihadirkan dalam upacara keagamaan tersebut. Seni suara sama halnya dengan
seni tari yang sering digunakan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam seni
suara, kemerduan suara dan keindahan lirik tidak merupakan unsur utama, tetapi
yang dianggap utama adalah nilai-nilai sakral yang terkandung dalam nyanyian
itu. Selain seni tari dan seni suara, adapula seni lukis dan kesusasteraan yang
juga memiliki nilai-nilai sakral dalam ritus keagamaan. Berikut macam-macam
seni tari, seni suara, seni lukis, dan kesusasteraan dalam masyarakat suku
Dayak:
1. Seni Tari
a. Tari Manasai
Tarian ini merupakan tari gembira, diikuti
irama gendang penuh semangat. Tari ini digunakan untuk menyambut kedatangan
tamu-tamu agung, ataupun menyambut pahlawan-pahlawan yang menang perang. Tarian
ini mengandung makna kesyukuran terhadap para dewa dan roh-rh nenek moyang yang
telah memberi kesempatan kepada masyarakat dan tamu-tamu atau para pahlawan
dari medan perang untuk bertemu dan bergembira ria.
b. Tari Karang Dedeo
Tarian ini dilakukan pada saat upacara perkawinan
atau upacara-upacara gembira lainnya. Tarian ini dilakukan sambil mengelilingi
tihang potong atau lengan bulau, diikuti dengan nyanyian lagu karang dedeo
yaitu seperti pantun-pantun yang dilagukan oleh para penari secara bergiliran
atau bersahut-sahutan.
c. Tari Bukan
Tarian ini ditarikan oleh pemuda dan pemudi
yang berjumlah 1-7 oang orang dengan menggunakan alat bambu dan tombak. Tarian
ini digunakan untuk menyambut para panglima yang baru pulang dari medan perang.[39]
d. Tari Gumbeuk
Tarian ini diadakan khusus untuk upacara
kematian, yaitu pada upacara tiwah. Dalam tarian ini terkandung makna ritual
dan doa-doa agar si mati mendapat perlindungan dari para dewa dan roh-roh nenek
moyang.
e. Tari Kanjan
Tari ini dilakukan pada upacara-upacara
kematian, termasuk dalam upacara tiwah. Tarian ini bersifat sakral dan
dibawakan oleh orang tua-tua, baik laki-laki ataupun perempuan. Tarian ini
bersifat doa keselamatan atau kerekatan terhadap sesuatu yang dilakukan dengan
mengelilingi sangkaraya huma (janur
bambu dalam rumah), sangkaraya petak (janur
bambu di tanah), sapundu (tempat
mengikatkan ternak), dan pantar (kayu
panjang sebagai tanda bagi orang yang akan ditiwahkan).
f. Tari Giring-giring
Tarian ini merupakan tarian yang cukup
popular, bahkan sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Pada awalnya alat yang
digunakan sangat sederhana yaitu 2 potong bambu kering yang diisi batu kerikil
yang akan menimbulkan bunyi sesuai gerakan penarinya. Namun dalam perkembangannya,
bunyi-bunyian tersebut dihasilkan oleh kumpulan gelang yang terbuat dari logam
yang melingkar di tangan dan kaki para penari, serta melingkari tombak atau
mandau yang dipegang para penari.[40]
Tari-tarian tersebut merupakan beberapa
tarian yang sering dilakukan oleh suku Dayak dalam kegiatan-kegiatan tertentu
yang memiliki makna tersendiri, baik dalam gerakan, bunyi-bunyian yang
mengiringi, dan peralatan yang digunakan. Tari-tarian tersebut bersifat monoton
karena gerakan dari masing-masing tarian hampir dikatakan sama. Kemiripan
gerakan dalam tarian-tarian suku Dayak disebabkan oleh latar belakang
tari-tarian tersebut merupakan refleksi dari upacara ritus keagamaan orang
Dayak.
2. Seni Suara
a. Nyanyian Kandan
Nyanyian ini dinyanyikan oleh laki-laki
ataupun perempuan secara bergantian dalam suatu pesta perkawinan atau dalam
rangka menyambut pejabat pemerintah yang berkunjung ke desa mereka.
b. Nyanyian Setangis
Nyanyian ini
dinyanyikan dalam upacara kematian. Isinya menceritakan tentang riwayat hidup
orang yang meninggal itu, serta puji-pujian dan doa terhadap si mayat agar
arwahnya diterima oleh Sangiang dengan baik.
.
c. Nyanyian Kayau Pulang
Nyanyian ini
dinyanyikan orang tua untuk anak yang sedang dalam buaian sebelum tidur malam
hari. Makna yang terkandung adalah doa-doa dan puji-pujian kepada dewa agar
memberi berkat dan bimbingan kepada anaknya yang masih kecil dalam mengarungi
hidup.
d. Mohing Asang
Nyanyian ini
dinyanyikan secara bersama-sama, dengan penuh semangat dan menambah keberanian.
Nyanyian ini merupakan komando yang didengungan panglima perang sebagai tanda
dimulainya peperangan.
e. Nyanyian Kandayu
Nyanyian ini merupakan
nyanyian rohani yang dinyanyikan saat upacara sembahyang. Nyanyian ini bersifat
pemujaan terhadap Ranying Hatalla Langit, serta pengharapan agar dilimpahkan
kebahagiaan hidup bersama sanak keluarganya, serta terhindar dari segala
gangguan roh-roh jahat dan segala bentuk mara bahaya.[41]
f. Nyanyian Sansana Bandar
Nyanyian ini
bersifat pemujaan dan pengagungan terhadap sifat kesatriaan yang telah
ditunjukkan oleh seorang yang bernama Bandar[42]. Nyanyian ini dijadikan
sebagai suatu pedoman hidup bermasyarakat dan berumah tangga bagi masyarakat
Dayak.[43]
3. Seni Lukis
Seni lukis dalam tradisi suku Dayak
mengandung unsur-unsur ritual, tidak hanya unsur seni saja. Seni lukis yang
berkembang dalam masyarakat Dayak adalah tato
atau tutang atau cacah ada tubuhnya. Tato menjadi tanda terutama kelak jika seorang
Dayak meninggal dunia dan telah menjalani tiwah, maka tato yang melekat
ditubuhnya berwarna hitam akan berubah warna menjadi keemasan. Hal ini akan
menjadi pertanda bahwa mereka adalah suku Dayak dan keturunan dari Antang Bajela Bulau. Dengan demikian
akan memudahkan mereka di alam baka dan terhindar dari siksaan buruk.[44]
Selain tato, masyarakat Dayak juga
memiliki ciri khas lain yaitu pesek (tindik
telinga) atau telinga panjang. Orang Dayak
dahulu banyak hidup di hutan, sehingga hal ini bertujuan untuk
membedakan antara manusia dengan monyet, menurut mereka “Jika telinganya pendek
berarti dia itu monyet”. Untuk kaum lelakinya
biasanya bandul telinganya dibuat ukir-ukiran.[45]
G.
Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama
Lain
Suku Dayak adalah suku yang memiliki agama
sendiri yang disebut dengan agama
kaharingan. Dimana menurut mitosnya agama ini diturunkan dari langit ketujuh
oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku Dayak
memiliki lambing yang dilambangkan dengan batang
haring yang memiliki arti pohon kehidupan.
Pohon kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan
hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Suku
Dayak menjadikan pohon kehidupan sebagai pedoman untuk interaksi, bergaul, atau
berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan
serta berhubungan baik antar umat beragama.
Orang Dayak awal beragama Kaharingan, tapi seiring
dengan berkembangnya zaman dan terjadinya asimilasi antara orang Dayak dan suku pendatang maka suku Dayak sendiri ada
yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan juga islam atau selain dari agama Kaharingan.
Agama
Kaharingan lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama
pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah menyebar luas di dunia terutama di
Indonesia dan lebih dikenal luas jika dibandingkan dengan suku Dayak, maka
agama Kaharingan dikategorikan ke cabang Hindu.
Bangsa Dayak
yang mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing. Kemudian
datanglah pedagang dari Gujarat yang beragam Islam (Arab Melayu) dengan tujuan
jual beli barang-barang dari, dan, kepada masyarakat Dayak. Karena seringnya
mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan
dari, dan, ke Selat Malaka, mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang
mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka. Hal ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang
yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya
proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi kultural,
menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai dikunjungi masyarakat lokal
(Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.[46]
Di masa itu
sistem religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para
pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam
dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka
masyarakat lokal atau Dayak ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat
tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal mulai
tahun 1.550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada pemerintahan Giri Kusuma yang
merupakan Kerajaan Melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Selain itu, orang Dayak yang beragama Islam juga
tersebar di Kalimantan Selatan dan Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Masyarakat
Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap
tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut Jubata, Petara, Ala
Taala, Penompa dan lain-lain. Orang Dayak yang masih memegang teguh kepercayaan
dinamismenya dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri untuk masuk semakin
jauh ke pedalaman, beberapa masuk ke pedalaman
di Kalimantan Tengah, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas, dan
Watang Balangan..
Adapun
segilintir masyarakat Dayak yang telah
masuk agama islam karena perkawinan, lebih banyak meniru gaya hidup
pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak hubungan
dengan dunia luar. Pada umumnya masyarkat Dayak yang pindah agama Islam di
Kalimantan Barat dianggap oleh suku Dayak sama dengan suku Melayu. Suku Dayak
yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga
mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam (karena
perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku Melayu. Setelah
penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah (lewat
perkawinan dengan suku Melayu) ke agama Islam, agama Islam lebih identik dengan
suku Melayu dan agama Kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan
suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir
Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak dikunjungi pendatang,
baik lokal maupun Nusantara lainnya.[47]
H.
Lampiran Gambar-Gambar
Keterangan :
1. Dayak Ngaju
2. Dayak Apu Kayan
3. Dayak Iban
4. Dayak Klemantan
5. Dayak Murut
6. Dayak Punan
7. Dayak Ot Danum
Gambar 1. Peta Persebaran Suku Dayak.
Gambar 2. Rumah Panjang Suku
Dayak.
Gambar
3. Pohon Batang
Garing atau Pohon Kehidupan.
Gambar
4. Mandau (Senjata Khas Suku Dayak).
Gambar
5. Sapundu
Gambar
6. Patuhu
Gambar
7. Pakaian Adat Suku Dayak.
Gambar
8. Tato Tubuh Orang Dayak.
Gambar
9. Telinga Panjang Suku Dayak
Gambar
10. Minyak Bintang dan Minyak Besi
Gambar
11. Kayu Kepot Sala dan Kayu Manang.
Gambar
12. Lipan, Kijang Putih, dan Ular Berkepala Dua.
Gambar
13. Bayi Berselaput.
I.
Kesimpulan
Dari apa yang sudah kita bahas diatas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa suku dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang
terletak di pulau Kalimantan. Suku dayak memiliki agama sendiri yang disebut
dengan agama Kaharingan. Agama kaharingan menurut mitos suku dayak merupakan
agama yang diturunkan dari langit ketujuh yang diturunkan oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku dayak
memiliki simbol yang disebut dengan batang
garing atau pohon kehidupan.
Batang garing ini melambangkan kedamaian kerukunan antar sesama manusia,
manusia dengan makhluk lain, dan manusia dengan tuhan. Di dalam suku dayak ini
sendiri terdapat banyak sekali mitologi dan magi yang mereka percayai dapat
memberikan kekuatan kepada mereka dan membuat mereka menjadi kuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwijono,
Harun,Religi Suku Murba di Indonesia,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003).
Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015).
Hadikusuma,
Hilman, Antropologi Agama, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993).
Lana,
Yasir, Kepercayaan dan Praktik Ritual
Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, Skripsi, (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
Salam,
Syamsir, Agama Kaharigan: Akar-Akar
Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Aliansi Pemuda Dayak FPPI
dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofdayak.
wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
Kancana,
Okky Rusyandi Cahya, Suku Dayak,
diakses pada tanggal 15
Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
39
|
Mpuh, Den,Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia, diakses pada tanggal 9
Maret 2016 pukul 17.45 WIB dari http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/ 06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html.
Tria,Septy,
Suku Dayak Kenyah, diakses pada
tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24 WIB dari http://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
Zakaria,
Sejarah Suku Dayak, diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul
16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
Makalah
Diajukan
untuk Memenuhi Nilai Matakuliah Agama-Agama Lokal
Dosen
: Siti Nadroh, MA.
Disusun
oleh :
Kelompok
1( IVA )
Adiba Zahrotul Wildah ( 11140321000025 )
Firda Devy Rahmawati ( 11140321000039 )
Syamsul Arifin ( 11140321000034 )
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat,
karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Agama
Tradisional Orang Dayak”.
Makalah ini disusun bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.
Kami menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki
makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.
Semoga makalah ini dapat
mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.
Ciputat, 12 Maret 2016
Penulis
ii
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR
....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
A. Pendahuluan ........................................................................................... 1
B. Asal Usul Orang Dayak .......................................................................... 1
C. Mite dan Magi Orang Dayak .................................................................. 5
D. Struktur Keagamaan Orang Dayak
(Faham Kaharingan dan
Ajarannya) ....................................................... 11
E. Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang
Dayak ........................ 23
F. Kesenian Suku Dayak ............................................................................. 26
G. Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan
Agama-Agama Lain......... 30
H. Lampiran Gambar ................................................................................... 33
I. Kesimpulan ............................................................................................. 38
DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................ 39
iii
iii
|
[1] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015),
h. 111.
[2] Yasir Lana, Kepercayaan dan Praktik Ritual Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi
Segandu, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.
9.
[3] Zakaria, Sejarah Suku Dayak, diakses
pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[4] Den Mpuh, Sejarah Awal Adanya Suku
Dayak di Indonesia, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 17.45 WIB dari http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html.
[5] Syamsir Salam, Agama Kaharigan:
Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 68-69.
[6] Peres merupakan penyempurna dari kejadian manusia, dengan
memberikan nafas yang tidak kekal.
[7] Ranying Pohatora atau Mahatalla
merupakan pencipta alam semesta dan manusia.
[8] Pohon Batang Garing adalah pohon gading atau lebih terkenal
dikalangan suku Dayak sebagai pohon kehidupan.
[9] Syamsir Salam, Agama Kaharigan:
Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 148-150.
[10] Zakaria, Sejarah Suku Dayak, diakses
pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[11] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofdayak.
wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[12] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofdayak.
wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[13] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan
Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu
Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB dari http://folksofdayak.
wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[15] Syamsir Salam, Agama Kaharigan:
Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,(Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 105-106.
[17] Syamsir Salam, Agama Kaharigan:
Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108.
[18] Syamsir Salam, Agama Kaharigan:
Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108-111.
[19] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 43.
[20] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), h. 44.
[21] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 114-116.
[22] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 116-117.
[23] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 117-119.
[25] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 119-120
[26] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 120.
[27] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 161.
[28] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 162.
[29] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 167.
[30]
Upacara Tiwah
merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama
Kaharingan yang dimaksudkan untuk mengantarkan
liau dalam perjalanannya ke
alam akhirat menuju ke lewu liau
(alam baka) yaitu tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya.
[31] Liau tidak lain dari sang wafat sendiri, artinya liau adalah bentuk eksistensi manusia
yang dimulai dengan kematiannya yang sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya
yang semula.
[32] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h.66.
[33] Pengayauan dalam tradisi suku Dayak merupakan tradisi membunuh musuh saat
bepergian. Namun sekarang mengalami pergeseran makna yaitu mengayau berarti
melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan
berdirinya suatu bangunan.
[34] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 137-138.
[35] Pali adalah larangan.
[36] Panyalumpok Liau merupakan penyatuan jiwa dari segi jasmani dan rohaninya.
[37] Lewu Liau bisa diartikan surga bagi suku Dayak. Lewu Liau
digambarkan sebagai suatu daerah yang penuh dengan air (sungai, telaga, dan
sebagainya) sehingga ada kesuburan, suasana yang tenang, tidak ada pembunuhan
dan pencurian, dan juga dikatakan bahwa keadaan disana serba terbalik (kanan
menjadi kiri, atas menjadi bawah, dan sebagainya).
[38] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta
: Gunung Mulia, 2003), h. 67-70.
[39] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 85-86.
[40] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 86-88.
[41] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 88-90.
[42] Bandar dikenal sebagai sosok panutan dan teladan bagi kehidupan
para lelaki karena sikap tanggung jawabnya terhadap keluarganya.
[43] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 89-90.
[44] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak
di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), h. 91.
[45] Septy Tria, Suku Dayak Kenyah, diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24
WIB dari http://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
[46] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada
tanggal 15 Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
[47] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada
tanggal 15 Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar