Kamis, 09 Juni 2016

Local Wisdom Qonita



KEBUDAYAAN RUATAN OJUNG (TRADISI BERTARUNG MENGGUNAKAN TONGKAT ROTAN) DI DUSUN MAMBANG DESA BUNBARAT KECAMATAN RUBARU KABUPATEN SUMENEP MADURA
Oleh: Qonita (NIM: 11140321000020)

A.      Pendahuluan
Dalam kajian Lukman, pengamat masalah sosial-budaya Madura, Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional amat banyak, beragam, dan amat bernilai. Kekayaan budaya dan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan terus dikenalkan kepada generasi penerus. Budaya, khususnya kesenian tradisional adalah aset kekayaan budaya lokal yang akan mampu melindungi generasi muda dari pengaruh negatif globalisasi. Salah satu contoh kecil pelestarian budaya Madura ialah dari segi bahasa daerah, yang dapat menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga, (Jawa 45%, Sunda 14%, dan Madura 7,5%) yang ada di nusantara ini. Lebih jauh, pelestarian budaya juga melingkupi ranah kesakralan akan tradisi luhur nenek moyang yang masih hidup sampai saat ini. Ini semua dilakukan agar para generasi penerus bisa menghargai sebuah kebudayaan yang telah terjadi secara turun temurun, karena sebuah kebudayaan sejatinya adalah jiwa dari sebuah masyarakat.

B.       Demografi Geografis Wilayah
Madura sebagai sebuah pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa, semakin dikenal seiring dengan adanya jembatan penghubung Surabaya-Madura (Suramadu) yang telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 yang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara dengan panjang 5,43 Km.
Madura terdiri dari empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Dengan pembagian wilayah menjadi dua, wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Jumlah pulau di Madura sebanyak 127 pulau. 126 pulau terdapat di kabupaten Sumenep dan satu pulau berada di kabupaten Sampang. 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Selain itu, Madura juga pernah memiliki lima kerajaan, meskipun kelima kerajaan tersebut berada di bawah kendali kerajaan-kerajaan Jawa. Kelima kerajaan tersebut berada di Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan di Blega dan Kota Anyar, Bangkalan. Sehingga sampai sekarang Madura memiliki berbagai wisata historis tempat peninggalan kerajaan-kerajaan terdahulu.
Madura memiliki berbagai ranah wisata yang sangat eksotis, mulai wisata budaya, wisata religi, wisata bahari, wisata historis, maupun wisata-wisata lainnya.
Di samping itu, Madura juga dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya ragam budaya, baik budaya yang penuh dengan eksotisme kelembutan, seperti sapi sonok, maupun budaya kekerasan, seperti kerapan sapi, carok, Ojung, dan lain sebagainya.[1]
Pulau Madura merupakan sebuah pulau yang memiliki ketandusan cukup tinggi, hal ini membuat pulau Madura sering terjadi bencana kekeringan yang cukup panjang. Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis (lingkungan) dengan pelaku (karakter) sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Jadi, tidak heran jika karakteristik masyarakat Madura seta kebudayaannya juga dipengaruhi oleh faktor ekologis setempat.

C.      Tradisi Ruatan Ojung di Madura
Kekayaan budaya Madura dibangun dari berbagai unsur budaya, baik dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam. Perkawinan ketiga unsur tersebut sangat dominan mewarnai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang bernafaskan religius, terutama bernuansa Islami ternyata lebih menonjol. [2]           
Seperti kita ketahui, masyarakat Madura terkenal dengan agamanya yang puritan, karena yang menjadi tolak ukur orang Madura adalah agama (Islam). Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Agama lebih mengikat daripada tradisi. Namun, sekali lagi, kekayaan budaya Madura juga tidak dapat dikesampingkan. Ada sesuatu yang sakral yang masih dirasakan dari tradisi dalam budaya Madura, yang masih dianggap sebagai warisan leluhur nenek moyang.    
Pulau Madura kaya akan kebudayaan, seperti salah satu contohnya adalah kebudayaan Ojung yang bisa ditemui di berbagai wilayah di Madura, khususnya di daerah pantura Kabupaten Sumenep seperti di Kecamatan Batu Putih dan Desa Bunbarat yang masih dilestarikan hingga sekarang, namun kini kelestariannya sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Tradisi Ojung adalah tradisi bertarung menggunakan tongkat rotan. Menariknya juga bahwa tradisi Ojung bisa ditemui di daerah pulau Jawa seperti Lumajang dan Situbondo. Hal ini terjadi karena sejarah dari masyarakat Madura yang melakukan perpindahan karena mendapat hadiah tanah dari pemerintahan kerajaan Majapahit atas prestasi dari Adipati Arya Wiraraja yang memerintah di kerajaan Sumenep yang berhasil memenangkan sebuah peperangan dan prestasi-prestasi lainnya, sehingga ada kemiripan antara Ojung yang asli di Madura dengan Ojung yang terdapat di daerah lain di pulau Jawa.
Di samping itu, faktor lain perpindahan orang Madura ke pulau Jawa seperti dilansir dari Majalah Suluh, dinyatakan bahwa penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian timur.[3] Mungkin ini adalah faktor awal yang mempermudah akses orang Madura ke Jawa sekaligus yang mempengaruhi adanya kemiripan budaya, salah satunya budaya Ojung Madura dengan Ojung yang ada di daerah Jawa.
Dalam sejarahnya Ojung itu mulai dikenal oleh masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep sekitar tahun 1750-an. Pada awalnya Ojung itu diciptakan oleh para tokoh masyarakat seperti sesepuh Desa dan kiyai atau ulama’ Dusun Mambang untuk mencari jalan keluar dari sebuah permasalahan yang sering terjadi di Dusun Mambang seperti perkelahian, pertikaian bahkan terjadinya carok, sehingga para tokoh-tokoh desa menciptakan sebuah permainan yang dinamakan Ojung yang dikemas dalam bagian dari acara ritual rokad atau selamatan Desa dan secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Dusun Mambang sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat.
        Ojung memiliki makna yang sangat berbeda-beda di setiap tempatnya, seperti di Dusun Bunbarat yang pada awalnya untuk mencari jalan keluar saat masyarakat sering berkelahi, bertikai bahkan bercarok, untuk wilayah Kecamatan Batu Putih memiliki makna sebagai bagian dari acara ritual saat musim kemarau agar hujan bisa turun, sedangkan untuk wilayah Lumajang, Ojung merupakan bagian dari acara sedekah desa dan untuk wilayah Situbondo Ojung merupakan acara yang dipercaya masyarakat untuk menolak bala atau musibah.
Dari berbagai perbedaan makna kebudayaan Ojung, yang menarik adalah sama-sama dilakukan setiap satu tahun sekali dan alat yang digunakanpun sama yakni menggunakan rotan yang panjangnya sekitar 1 meter yang disebut lapolo/lopalo (mungkin penyebutannya berbeda di tiap daerah) dan menggunakan pelindung kepala dengan memakai ikatan karung guni sebagai alat pengaman yang disebut bukot (mungkin penyebutannya berbeda di tiap daerah). Ada juga daerah yang pemainnya membutuhkan sarung, sebagai odheng di bawah alat pelindung kepala, juga untuk membalut sebagian tangan kiri hingga pergelangan untuk menangkis lawan, dan satu sarung lagi dikenakan di pinggang. Akan tetapi ada sebagian ada yang tidak memakai karung guni sehingga saat permainan Ruatan Ojung tidak memakai pelindung apapun, sehingga luka memar dan bercak darah bisa dilihat dengan jelas dan lebih ekstrim dalam permainannya.
Dalam permainan Ojung tidak menganut sistem kalah atau menang, karena ini hanyalah bagian dari tradisi. Namun, bila lebih banyak menerima pukulan, terlebih lagi sampai rotan yang dipegangnya lepas dari tangan dianggap kalah oleh penonton. Permainan dalam Ruatan Ojung tidak boleh melakukan pukulan dari arah samping dan bawah, akan tetapi hanya boleh dari arah atas saja dengan tangan kiri sebagai penangkis dan kaki kanan berada dibagian depan. Sehingga banyak pemain yang secara sukarela melakukan permainan Ojung meskipun tidak di nilai hasil akhirnya. Adu kekuatan fisik dan kekebalan ini berlangsung 5 sampai 7 menit. Para pemain Ojung dibatasi dalam bertanding yakni  hanya boleh melakukan pertarungan sebanyak 3 kali saja, namun juga ada yang mengatakan hanya 2 kali tanding saja dan selebihnya akan dilarang oleh babuto atau selaku wasit, hal ini dilakukan karena untuk mengantisipasi adanya gengsi antar pemain Ojung dalam bertanding yang bisa memicu pertikaian, perkelahian atau bahkan carok yang bisa terjadi diluar arena Ruatan Ojung. Dalam permainan Ojung para pemain harus saling berdamai lagi setelah bertarung dengan cara saling dipertemukan untuk saling bersalaman dan disorak oleh para penonton, karena menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang memiliki keberanian dan nyali yang tinggi.
Para pemain Ojung tidak memiliki syarat khusus yang terpenting hanyalah punya keberanian dan nyali yang tinggi dan mampu mengendalikan emosi agar tidak ada pertikaian diluar arena Ruatan Ojung. Babuto selaku wasit juga tak luput dari pukulan para pemain ketika akan melerai pemain, sehingga orang yang menjadi babuto juga harus memiliki keberanian karena pasti akan mendapatkan pukulan rotan dari pemain. Babuto akan mengalami luka memar juga layaknya para pemain dalam Ruatan Ojung. Ruatan Ojung sebenarnya memiliki makna lain selain bagian dari acara rokad atau selamatan Desa yang bertujuan untuk menghormati dan menjalankan tradisi leluhur. Makna lainnya adalah sebagai alat pemersatu untuk saling bersilaturahim antar sesama masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat dan sekitarnya.
Hal lain yang menjadi daya tarik dalam acara Ruatan Ojung di Dusun Mambang Desa Bunbarat adalah ketika para pemain yang juga membekali dirinya dengan doa-doa kekebalan ataupun jimat pribadi, sehingga saat pemain Ojung mulai beraksi dan pukulan saling mendarat di badannya akan tetapi tidak luka ataupun memar. Kekuatan magispun ikut meramaikan acara Ruatan Ojung, dari adanya kekuatan magis inilah acara Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang ramai dikunjungi masyarakat baik masyarakat sekitar ataupun masyarakat dari luar Desa, dan bahkan para pemain Ojung kebanyakan dari orang luar Desa dengan alasan ingin menguji nyali dan doa-doa pribadi yang dimilikinya.
Ojung memiliki sifat yang riligius-magis karena dalam Ruatan Ojung di dahului dengan acara rokad atau selamatan desa yang secara otomatis para masyarakat Dusun Mambang akan berkumpul secara bersama-sama untuk memanjatkan doa untuk memohon kepada Allah agar Desa mereka diberikan keselamatan dan hasil panen yang melimpah. Doa bersama ini dilakukan satu tahun sekali, yakni pada saat waktu hujan turun pertama kali dan mengambil waktu satu minggu setelah hujan turun sesusai kesepakatan yang telah di tentukan dan pada waktu sore harinya baru Ruatan permainan Ojung dilakukan di sebuah tempat. Seperti yang telah di bahas di atas bahwa para pemain Ojung juga membekali diri mereka dengan ilmu-ilmu gaib agar pada saat melakukan permainan Ojung tidak mengalami luka yang parah.
Dalam agama islam yang hakiki bahwasannya pukul memukul itu tidak boleh di dalam Al-quran dan Hadist dan hukumnya haram bagi mereka yang menyakiti diri sendiri dan juga orang lain. Akan tetapi kita dihadapkan pada hukum adat yang tidak bisa berbentur dengan hukum islam atau hukum syariat. Seperti yang dikatakan oleh bapak Moh. Farid selaku narasumber, beliau mengatakan bahwa “Hidup di Indonesia kita memegang 3 prinsip yakni Agama, Budaya dan Negara. Jadi jika salah satu ditinggalkan maka secara otomatis dalam bermasyarakat kita akan disingkirkan, jadi kita mengambil jalan tengahnya untuk tetap mengadakan Ruatan Ojung untuk bertoleransi kepada kepercayaan masyarakat di Dusun Mambang Desa Bunbarat”.
Ojung sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat Dusun Mambang dan sudah menjadi ciri khas yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu Ruatan Ojung akan terus dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Dusun Mambang, karena Ojung merupakan hal yang sangat sakral bagi masyarakat Dusun Mambang dan pasti setiap tahun dilakukan, meskipun sebagian dari tokoh agama ada yang menyatakan bahwa Ojung itu haram dilakukan karena saling menyakiti. Akan tetapi masyarakat Dusun Mambang tetap melestarikan Ruatan Ojung karena memiliki kepercayaan bahwa Ojung dapat memberikan berkah tersendiri, karena pada awalnya Ojung itu di lakukan untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah yang sering terjadi di masyarakat Dusun Mambang seperti perkelahian, pertikaian dan carok. Sehingga jika tidak dilestarikan takut di kemudian hari akan menimbulkan masalah seperti semula, karena setelah adanya Ruatan Ojung menurut masyarakat setempat masalah seperti perkelahian dan carok tidak pernah terjadi lagi di Dusun Mambang Desa Bunbarat. Apabila acara Ruatan Ojung tidak dilakukan di Dusun Mambang masyarakat akan merasa ada sesuatu yang kurang, maka segala yang terjadi sudah menjadi mindset yang menghegemoni masyarakat, maka pro dan kontra dari acara Ruatan Ojung pasti akan ada, akan tetapi Ruatan Ojung bagaimanapun harus tetap dilakukan agar segala sesuatu yang terjadi bisa sesuai harapan dari masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat.
Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang Desa Bunbarat memiliki perbedaan dengan Ojung yang ada di Kecamatan Batu Putih. Acara Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang pada dasarnya bukan acara ritual untuk meminta turunnya hujan seperti yang banyak di tulis oleh para wartawan dan sumber di blog internet, karena menurut keturunan asli dari sesepuh Ojung yang saya wawancarai yakni bapak Farid, bahwa beliau mengatakan Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang murni bukan untuk acara ritual meminta turunnya hujan, akan tetapi untuk mencari jalan keluar dari banyaknya jawara-jawara Desa yang selalu bertikai yang pada ahinya berlanjut dengan bercarok, sehingga dulu sekitar tahun1750-an para tokoh masyarakat dan ulama’ Dusun Mambang mecari jalan keluar dengan cara mengadakan Ruatan Ojung agar para jawara-jawara Desa bisa dikendalikan keberanian dan nyalinya. Hal tidak lepas bahwa sebelum acara Ruatan Ojung dilakukan acara rokad atau selamatan Desa yang bertujuan untuk memohon kepada Allah agar Dusun Mambang Desa Bunbarat selalu mendapatkan berkah dan keselamatan.
Kesalahan penafsiran tentang acara Ruatan Ojung ini sudah mendarah daging, yang menganggap bahwa Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang sama dengan Ruatan Ojung yang ada di Kecamatan Batu putih. Dimana Ruatan Ojung yang ada di Kecamatan Batu putih memang acara dari ritual meminta hujan. Hal ini bisa dibenarkan karena jika dilahat dari faktor keadaan geografis, Kecamatan Batu putih memang daerah yang sangat tandus dengan kontur bebatuan kapur, sehingga jika Ruatan Ojung yang ada di Kecamatan Batu putih memang bisa dikatakan bagian dari acara ritual meminta hujan, dengan tidak mengekesampingkan dalam agama islam bahwasannya jika pada saat musim kemarau dan hujan belum juga turun makan di anjurkan untuk melakukan sholat istisqo’. Dalam permainan Ojung yang ada di Dusun Mambang ini tetap mempertahan seperti yang dilakukan oleh para leluhur masyarakat Dusun Mambang, sehingga mobilitas dari Ruatan Ojung itu tidak ada perubahan sama sekali, karena pakem-pakem dari leluhur tetap dijaga hingga saat ini. Hal inilah yang menjadikan Ruatan Ojung Dusun Mambang masih di sakralkan oleh masyarakat Dusun Mambang.
Acara Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang Desa Bunbarat mulai mengalami penurunan eksistensi. Hal ini karena acara Ruatan Ojung yang dianggap masih tradisional dan tidak gaul, yang menyebabkan para remaja asli dari Dusun Mambang kurang meminati permainan Ojung. Padahal acara Ruatan Ojung memiliki maanfaat yang cukup baik untuk dijadikan sarana olahraga, karena permainan Ojung yang ada di Dusun Mambang masih menggunakan alat pengaman yakni karung guni dengan seorang babuto atau wasit yang menjadi penengah. Akan tetapi remaja Dusun Mambang lebih memilih olahraga yang lebih modern seperti bola volley, futsal dan sepak bola. Sehingga dari problem regenerasi yang mulai kurang ini para pemain Ojung rata-rata berusia antara 30-50 tahun dan itupun tidak semua berasal dari masyarakat Dusun Mambang akan tetapi kebanyakan para pemain yang berasal dari luar Dusun.
Dari problem ini sebenarnya sangat menghawatirkan jika kebudayaan Ojung pada waktu yang akan mendatang bisa benar-benar punah, padahal kebuadayaan Ojung ini merupakan kekayaan masyarakat yang seharusnya tetap dijaga dan diminati oleh para remaja sebagai generasi penerus. Jika para remaja khususnya remaja Dusun Mambang Desa Bunbarat ini enggan untuk belajar menjadi seorang pemain Ojung, maka Ojung yang sejatinya adalah identitas khas dari masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat akan hilang di telan zaman. Padahal jika dilihat dari pengertian kebudayaan yang sejatinya adalah hasil karya, karsa dan rasa masyarakat, maka acara Ruatan Ojung wajib untuk tetap dilestarikan karena Ojung merupakan hasil pemikiran bersama para leluhur Dusun Mambang Desa Bunbarat.

D.      Penutup
Artikel tentang kebudayaan Ruatan Ojung yang saya tulis ini untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Agama Lokal. Di dalam tulisan ini saya bukan mencari sebuah kebenaran tentang filosofi makna dari Ruatan Ojung, akan tetapi saya hanya menuliskan apa yang saya dapatkan dari wawancara di lapangan dengan berbagai artikel yang terlebih dahulu sudah diterbitkan di blog internet agar para generasi penerus bisa menghargai sebuah kebudayaan yang telah terjadi secara turun temurun, karena sebuah kebudayaan sejatinya adalah jiwa dari sebuah masyarakat. Ucapan maaf juga ringan terucap dari lisan ini apabila pembaca banyak menemukan kesalahan dalam ranah kontens maupun penulisannya karena semua yang baik hanyalah datang dari Allah. Selanjutnya, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat guna menambah wacana kita tentang kearifan lokal daerah di Indonesia dalam membantu memperkaya khazanah keilmuan kita khususnya dalam Ilmu Perbandingan Agama.

E.       Daftar Pustaka
Abe. Budaya Berlalu Tanpa Pengembala. Sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011.
Dzulkarnain, Iskandar. Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura. Sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011.



[1] Iskandar Dzulkarnain, Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura, sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011, h. 12-13.
[2] Abe, Budaya Berlalu Tanpa Pengembala, sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011, h. 6.
[3] Abe, Budaya Berlalu Tanpa Pengembala, sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011, h. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar