KEBUDAYAAN RUATAN OJUNG (TRADISI BERTARUNG
MENGGUNAKAN TONGKAT ROTAN) DI DUSUN MAMBANG DESA BUNBARAT KECAMATAN RUBARU KABUPATEN
SUMENEP MADURA
Oleh: Qonita
(NIM: 11140321000020)
A.
Pendahuluan
Dalam kajian
Lukman, pengamat masalah sosial-budaya Madura, Madura memiliki kekayaan
kesenian tradisional amat banyak, beragam, dan amat bernilai. Kekayaan budaya
dan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai
religius Islami seharusnya dilestarikan dan terus dikenalkan kepada generasi
penerus. Budaya, khususnya kesenian tradisional adalah aset kekayaan budaya
lokal yang akan mampu melindungi generasi muda dari pengaruh negatif
globalisasi. Salah satu contoh kecil pelestarian budaya Madura ialah dari segi
bahasa daerah, yang dapat menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah
satu suku terbesar ketiga, (Jawa 45%, Sunda 14%, dan Madura 7,5%) yang ada di
nusantara ini. Lebih jauh, pelestarian budaya juga melingkupi ranah kesakralan
akan tradisi luhur nenek moyang yang masih hidup sampai saat ini. Ini semua
dilakukan agar para generasi penerus bisa menghargai sebuah kebudayaan yang
telah terjadi secara turun temurun, karena sebuah kebudayaan sejatinya adalah
jiwa dari sebuah masyarakat.
B.
Demografi
Geografis Wilayah
Madura sebagai sebuah pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa,
semakin dikenal seiring dengan adanya jembatan penghubung Surabaya-Madura
(Suramadu) yang telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tahun 2009 yang merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara dengan panjang
5,43 Km.
Madura terdiri dari empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep. Dengan pembagian wilayah menjadi dua, wilayah daratan
dan wilayah kepulauan. Jumlah pulau di Madura sebanyak 127 pulau. 126 pulau
terdapat di kabupaten Sumenep dan satu pulau berada di kabupaten Sampang. 48
pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Selain itu, Madura juga
pernah memiliki lima kerajaan, meskipun kelima kerajaan tersebut berada di
bawah kendali kerajaan-kerajaan Jawa. Kelima kerajaan tersebut berada di
Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan di Blega dan Kota Anyar, Bangkalan. Sehingga
sampai sekarang Madura memiliki berbagai wisata historis tempat peninggalan
kerajaan-kerajaan terdahulu.
Madura memiliki berbagai ranah wisata yang sangat eksotis, mulai
wisata budaya, wisata religi, wisata bahari, wisata historis, maupun
wisata-wisata lainnya.
Di samping itu, Madura juga dikenal sebagai wilayah yang tandus
namun kaya ragam budaya, baik budaya yang penuh dengan eksotisme kelembutan,
seperti sapi sonok, maupun budaya kekerasan, seperti kerapan sapi, carok, Ojung,
dan lain sebagainya.[1]
Pulau Madura merupakan sebuah pulau yang memiliki ketandusan cukup
tinggi, hal ini membuat pulau Madura sering terjadi bencana kekeringan yang
cukup panjang. Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan
saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis (lingkungan) dengan pelaku
(karakter) sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu.
Jadi, tidak heran jika karakteristik masyarakat Madura seta kebudayaannya juga
dipengaruhi oleh faktor ekologis setempat.
C.
Tradisi Ruatan
Ojung di Madura
Kekayaan budaya Madura dibangun dari berbagai unsur budaya, baik
dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam. Perkawinan ketiga unsur tersebut
sangat dominan mewarnai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai
kesenian yang bernafaskan religius, terutama bernuansa Islami ternyata lebih
menonjol. [2]
Seperti kita ketahui, masyarakat Madura terkenal dengan agamanya
yang puritan, karena yang menjadi tolak ukur orang Madura adalah agama (Islam).
Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Agama lebih mengikat daripada
tradisi. Namun, sekali lagi, kekayaan budaya Madura juga tidak dapat dikesampingkan.
Ada sesuatu yang sakral yang masih dirasakan dari tradisi dalam budaya Madura,
yang masih dianggap sebagai warisan leluhur nenek moyang.
Pulau Madura kaya akan kebudayaan, seperti salah satu contohnya
adalah kebudayaan Ojung yang bisa ditemui di berbagai wilayah di Madura,
khususnya di daerah pantura Kabupaten Sumenep seperti di Kecamatan Batu Putih
dan Desa Bunbarat yang masih dilestarikan hingga sekarang, namun kini
kelestariannya sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Tradisi Ojung
adalah tradisi bertarung menggunakan tongkat rotan. Menariknya juga bahwa tradisi
Ojung bisa ditemui di daerah pulau Jawa seperti Lumajang dan Situbondo.
Hal ini terjadi karena sejarah dari masyarakat Madura yang melakukan
perpindahan karena mendapat hadiah tanah dari pemerintahan kerajaan Majapahit
atas prestasi dari Adipati Arya Wiraraja yang memerintah di kerajaan Sumenep
yang berhasil memenangkan sebuah peperangan dan prestasi-prestasi lainnya,
sehingga ada kemiripan antara Ojung yang asli di Madura dengan Ojung
yang terdapat di daerah lain di pulau Jawa.
Di samping itu, faktor lain perpindahan orang Madura ke pulau Jawa
seperti dilansir dari Majalah Suluh, dinyatakan bahwa penelitian Kuntowijoyo
(2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa
migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya
perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di
perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura
tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian timur.[3]
Mungkin ini adalah faktor awal yang mempermudah akses orang Madura ke Jawa
sekaligus yang mempengaruhi adanya kemiripan budaya, salah satunya budaya Ojung
Madura dengan Ojung yang ada di daerah Jawa.
Dalam sejarahnya Ojung itu mulai dikenal oleh masyarakat
Dusun Mambang Desa Bunbarat Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep sekitar tahun
1750-an. Pada awalnya Ojung itu diciptakan oleh para tokoh masyarakat
seperti sesepuh Desa dan kiyai atau ulama’ Dusun Mambang untuk mencari jalan
keluar dari sebuah permasalahan yang sering terjadi di Dusun Mambang seperti
perkelahian, pertikaian bahkan terjadinya carok, sehingga para tokoh-tokoh desa
menciptakan sebuah permainan yang dinamakan Ojung yang dikemas dalam
bagian dari acara ritual rokad atau selamatan Desa dan secara
turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Dusun Mambang sehingga menjadi sebuah
kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Dusun Mambang Desa
Bunbarat.
Ojung memiliki
makna yang sangat berbeda-beda di setiap tempatnya, seperti di Dusun Bunbarat
yang pada awalnya untuk mencari jalan keluar saat masyarakat sering berkelahi,
bertikai bahkan bercarok, untuk wilayah Kecamatan Batu Putih memiliki makna
sebagai bagian dari acara ritual saat musim kemarau agar hujan bisa turun,
sedangkan untuk wilayah Lumajang, Ojung merupakan bagian dari acara
sedekah desa dan untuk wilayah Situbondo Ojung merupakan acara yang dipercaya
masyarakat untuk menolak bala atau musibah.
Dari berbagai perbedaan makna kebudayaan Ojung, yang menarik
adalah sama-sama dilakukan setiap satu tahun sekali dan alat yang digunakanpun
sama yakni menggunakan rotan yang panjangnya sekitar 1 meter yang disebut lapolo/lopalo
(mungkin penyebutannya berbeda di tiap daerah) dan menggunakan pelindung
kepala dengan memakai ikatan karung guni sebagai alat pengaman yang disebut bukot
(mungkin penyebutannya berbeda di tiap daerah). Ada juga daerah yang
pemainnya membutuhkan sarung, sebagai odheng di bawah alat pelindung
kepala, juga untuk membalut sebagian tangan kiri hingga pergelangan untuk
menangkis lawan, dan satu sarung lagi dikenakan di pinggang. Akan tetapi ada
sebagian ada yang tidak memakai karung guni sehingga saat permainan Ruatan
Ojung tidak memakai pelindung apapun, sehingga luka memar dan bercak
darah bisa dilihat dengan jelas dan lebih ekstrim dalam permainannya.
Dalam permainan Ojung tidak menganut sistem kalah atau
menang, karena ini hanyalah bagian dari tradisi. Namun, bila lebih banyak
menerima pukulan, terlebih lagi sampai rotan yang dipegangnya lepas dari tangan
dianggap kalah oleh penonton. Permainan dalam Ruatan Ojung tidak
boleh melakukan pukulan dari arah samping dan bawah, akan tetapi hanya boleh
dari arah atas saja dengan tangan kiri sebagai penangkis dan kaki kanan berada
dibagian depan. Sehingga banyak pemain yang secara sukarela melakukan permainan
Ojung meskipun tidak di nilai hasil akhirnya. Adu kekuatan fisik dan
kekebalan ini berlangsung 5 sampai 7 menit. Para pemain Ojung dibatasi
dalam bertanding yakni hanya boleh
melakukan pertarungan sebanyak 3 kali saja, namun juga ada yang mengatakan
hanya 2 kali tanding saja dan selebihnya akan dilarang oleh babuto atau
selaku wasit, hal ini dilakukan karena untuk mengantisipasi adanya gengsi antar
pemain Ojung dalam bertanding yang bisa memicu pertikaian, perkelahian
atau bahkan carok yang bisa terjadi diluar arena Ruatan Ojung.
Dalam permainan Ojung para pemain harus saling berdamai lagi setelah
bertarung dengan cara saling dipertemukan untuk saling bersalaman dan disorak
oleh para penonton, karena menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang
memiliki keberanian dan nyali yang tinggi.
Para pemain Ojung tidak memiliki syarat khusus yang
terpenting hanyalah punya keberanian dan nyali yang tinggi dan mampu
mengendalikan emosi agar tidak ada pertikaian diluar arena Ruatan Ojung.
Babuto selaku wasit juga tak luput dari pukulan para pemain ketika akan
melerai pemain, sehingga orang yang menjadi babuto juga harus memiliki
keberanian karena pasti akan mendapatkan pukulan rotan dari pemain. Babuto
akan mengalami luka memar juga layaknya para pemain dalam Ruatan Ojung.
Ruatan Ojung sebenarnya memiliki makna lain selain bagian dari
acara rokad atau selamatan Desa yang bertujuan untuk menghormati dan
menjalankan tradisi leluhur. Makna lainnya adalah sebagai alat pemersatu untuk
saling bersilaturahim antar sesama masyarakat Dusun Mambang Desa Bunbarat dan
sekitarnya.
Hal lain yang menjadi daya tarik dalam acara Ruatan Ojung
di Dusun Mambang Desa Bunbarat adalah ketika para pemain yang juga membekali
dirinya dengan doa-doa kekebalan ataupun jimat pribadi, sehingga saat pemain Ojung
mulai beraksi dan pukulan saling mendarat di badannya akan tetapi tidak luka
ataupun memar. Kekuatan magispun ikut meramaikan acara Ruatan Ojung,
dari adanya kekuatan magis inilah acara Ruatan Ojung yang ada di
Dusun Mambang ramai dikunjungi masyarakat baik masyarakat sekitar ataupun
masyarakat dari luar Desa, dan bahkan para pemain Ojung kebanyakan dari
orang luar Desa dengan alasan ingin menguji nyali dan doa-doa pribadi yang
dimilikinya.
Ojung memiliki sifat
yang riligius-magis karena dalam Ruatan Ojung di dahului dengan
acara rokad atau selamatan desa yang secara otomatis para masyarakat Dusun Mambang
akan berkumpul secara bersama-sama untuk memanjatkan doa untuk memohon kepada
Allah agar Desa mereka diberikan keselamatan dan hasil panen yang melimpah. Doa
bersama ini dilakukan satu tahun sekali, yakni pada saat waktu hujan turun
pertama kali dan mengambil waktu satu minggu setelah hujan turun sesusai
kesepakatan yang telah di tentukan dan pada waktu sore harinya baru Ruatan
permainan Ojung dilakukan di sebuah tempat. Seperti yang telah di bahas
di atas bahwa para pemain Ojung juga membekali diri mereka dengan
ilmu-ilmu gaib agar pada saat melakukan permainan Ojung tidak mengalami
luka yang parah.
Dalam agama islam yang hakiki bahwasannya pukul memukul itu tidak
boleh di dalam Al-quran dan Hadist dan hukumnya haram bagi mereka yang
menyakiti diri sendiri dan juga orang lain. Akan tetapi kita dihadapkan pada
hukum adat yang tidak bisa berbentur dengan hukum islam atau hukum syariat.
Seperti yang dikatakan oleh bapak Moh. Farid selaku narasumber, beliau
mengatakan bahwa “Hidup di Indonesia kita memegang 3 prinsip yakni Agama,
Budaya dan Negara. Jadi jika salah satu ditinggalkan maka secara otomatis dalam
bermasyarakat kita akan disingkirkan, jadi kita mengambil jalan tengahnya untuk
tetap mengadakan Ruatan Ojung untuk bertoleransi kepada kepercayaan masyarakat
di Dusun Mambang Desa Bunbarat”.
Ojung sudah menjadi
bagian hidup dari masyarakat Dusun Mambang dan sudah menjadi ciri khas yang
tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu Ruatan Ojung akan terus
dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Dusun Mambang, karena Ojung
merupakan hal yang sangat sakral bagi masyarakat Dusun Mambang dan pasti setiap
tahun dilakukan, meskipun sebagian dari tokoh agama ada yang menyatakan bahwa Ojung
itu haram dilakukan karena saling menyakiti. Akan tetapi masyarakat Dusun
Mambang tetap melestarikan Ruatan Ojung karena memiliki
kepercayaan bahwa Ojung dapat memberikan berkah tersendiri, karena pada
awalnya Ojung itu di lakukan untuk mencari jalan keluar dari sebuah
masalah yang sering terjadi di masyarakat Dusun Mambang seperti perkelahian,
pertikaian dan carok. Sehingga jika tidak dilestarikan takut di kemudian hari
akan menimbulkan masalah seperti semula, karena setelah adanya Ruatan Ojung
menurut masyarakat setempat masalah seperti perkelahian dan carok tidak pernah
terjadi lagi di Dusun Mambang Desa Bunbarat. Apabila acara Ruatan Ojung
tidak dilakukan di Dusun Mambang masyarakat akan merasa ada sesuatu yang
kurang, maka segala yang terjadi sudah menjadi mindset yang menghegemoni
masyarakat, maka pro dan kontra dari acara Ruatan Ojung pasti akan
ada, akan tetapi Ruatan Ojung bagaimanapun harus tetap dilakukan
agar segala sesuatu yang terjadi bisa sesuai harapan dari masyarakat Dusun
Mambang Desa Bunbarat.
Ruatan Ojung
yang ada di Dusun Mambang Desa Bunbarat memiliki perbedaan dengan Ojung
yang ada di Kecamatan Batu Putih. Acara Ruatan Ojung yang ada di
Dusun Mambang pada dasarnya bukan acara ritual untuk meminta turunnya hujan
seperti yang banyak di tulis oleh para wartawan dan sumber di blog internet,
karena menurut keturunan asli dari sesepuh Ojung yang saya wawancarai
yakni bapak Farid, bahwa beliau mengatakan Ruatan Ojung yang ada
di Dusun Mambang murni bukan untuk acara ritual meminta turunnya hujan, akan
tetapi untuk mencari jalan keluar dari banyaknya jawara-jawara Desa yang selalu
bertikai yang pada ahinya berlanjut dengan bercarok, sehingga dulu sekitar
tahun1750-an para tokoh masyarakat dan ulama’ Dusun Mambang mecari jalan keluar
dengan cara mengadakan Ruatan Ojung agar para jawara-jawara Desa
bisa dikendalikan keberanian dan nyalinya. Hal tidak lepas bahwa sebelum acara Ruatan
Ojung dilakukan acara rokad atau selamatan Desa yang bertujuan untuk
memohon kepada Allah agar Dusun Mambang Desa Bunbarat selalu mendapatkan berkah
dan keselamatan.
Kesalahan penafsiran tentang acara Ruatan Ojung ini
sudah mendarah daging, yang menganggap bahwa Ruatan Ojung yang
ada di Dusun Mambang sama dengan Ruatan Ojung yang ada di
Kecamatan Batu putih. Dimana Ruatan Ojung yang ada di Kecamatan
Batu putih memang acara dari ritual meminta hujan. Hal ini bisa dibenarkan
karena jika dilahat dari faktor keadaan geografis, Kecamatan Batu putih memang
daerah yang sangat tandus dengan kontur bebatuan kapur, sehingga jika Ruatan
Ojung yang ada di Kecamatan Batu putih memang bisa dikatakan bagian dari
acara ritual meminta hujan, dengan tidak mengekesampingkan dalam agama islam
bahwasannya jika pada saat musim kemarau dan hujan belum juga turun makan di
anjurkan untuk melakukan sholat istisqo’. Dalam permainan Ojung yang ada
di Dusun Mambang ini tetap mempertahan seperti yang dilakukan oleh para leluhur
masyarakat Dusun Mambang, sehingga mobilitas dari Ruatan Ojung
itu tidak ada perubahan sama sekali, karena pakem-pakem dari leluhur tetap
dijaga hingga saat ini. Hal inilah yang menjadikan Ruatan Ojung
Dusun Mambang masih di sakralkan oleh masyarakat Dusun Mambang.
Acara Ruatan Ojung yang ada di Dusun Mambang Desa
Bunbarat mulai mengalami penurunan eksistensi. Hal ini karena acara Ruatan
Ojung yang dianggap masih tradisional dan tidak gaul, yang menyebabkan
para remaja asli dari Dusun Mambang kurang meminati permainan Ojung.
Padahal acara Ruatan Ojung memiliki maanfaat yang cukup baik
untuk dijadikan sarana olahraga, karena permainan Ojung yang ada di
Dusun Mambang masih menggunakan alat pengaman yakni karung guni dengan seorang
babuto atau wasit yang menjadi penengah. Akan tetapi remaja Dusun Mambang lebih
memilih olahraga yang lebih modern seperti bola volley, futsal dan sepak bola.
Sehingga dari problem regenerasi yang mulai kurang ini para pemain Ojung
rata-rata berusia antara 30-50 tahun dan itupun tidak semua berasal dari
masyarakat Dusun Mambang akan tetapi kebanyakan para pemain yang berasal dari
luar Dusun.
Dari problem ini sebenarnya sangat menghawatirkan jika kebudayaan Ojung
pada waktu yang akan mendatang bisa benar-benar punah, padahal kebuadayaan Ojung
ini merupakan kekayaan masyarakat yang seharusnya tetap dijaga dan diminati
oleh para remaja sebagai generasi penerus. Jika para remaja khususnya remaja
Dusun Mambang Desa Bunbarat ini enggan untuk belajar menjadi seorang pemain Ojung,
maka Ojung yang sejatinya adalah identitas khas dari masyarakat Dusun
Mambang Desa Bunbarat akan hilang di telan zaman. Padahal jika dilihat dari pengertian
kebudayaan yang sejatinya adalah hasil karya, karsa dan rasa masyarakat, maka
acara Ruatan Ojung wajib untuk tetap dilestarikan karena Ojung
merupakan hasil pemikiran bersama para leluhur Dusun Mambang Desa Bunbarat.
D.
Penutup
Artikel tentang kebudayaan Ruatan Ojung yang saya
tulis ini untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Agama Lokal. Di dalam tulisan
ini saya bukan mencari sebuah kebenaran tentang filosofi makna dari Ruatan
Ojung, akan tetapi saya hanya menuliskan apa yang saya dapatkan dari
wawancara di lapangan dengan berbagai artikel yang terlebih dahulu sudah diterbitkan
di blog internet agar para generasi penerus bisa menghargai sebuah kebudayaan
yang telah terjadi secara turun temurun, karena sebuah kebudayaan sejatinya adalah
jiwa dari sebuah masyarakat. Ucapan maaf juga ringan terucap dari lisan ini
apabila pembaca banyak menemukan kesalahan dalam ranah kontens maupun
penulisannya karena semua yang baik hanyalah datang dari Allah. Selanjutnya,
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat
menjadi lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat guna menambah
wacana kita tentang kearifan lokal daerah di Indonesia dalam membantu
memperkaya khazanah keilmuan kita khususnya dalam Ilmu Perbandingan Agama.
E.
Daftar Pustaka
Abe. Budaya Berlalu Tanpa Pengembala. Sebuah artikel dalam
Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi
6/ Th.1/ Nopember 2011.
Dzulkarnain, Iskandar. Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban
Madura. Sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah
Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011.
[1] Iskandar
Dzulkarnain, Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura, sebuah artikel dalam
Majalah Suluh Mhsa bonum commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi
6/ Th.1/ Nopember 2011, h. 12-13.
[2] Abe, Budaya
Berlalu Tanpa Pengembala, sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum
commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011, h.
6.
[3] Abe, Budaya
Berlalu Tanpa Pengembala, sebuah artikel dalam Majalah Suluh Mhsa bonum
commune (Majalah Berita dan Kebudayaan Madura) edisi 6/ Th.1/ Nopember 2011, h.
7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar