Kamis, 09 Juni 2016

Local Wisdom Chairul Anam



ADAT UNDUH-UNDUH: TRADISI JEMAAT GEREJA KRISTEN JAWI WETAN DI KECAMATAN MOJOWARNO, KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR
Oleh: Chairul Anam

Eksistensi masyarakat akan budayanya dapat ditunjukkan dengan berbagai kegiatan sebagai pendukung budayanya. Bentuk kegiatan yang diwujudkan akan berbeda-beda satu sama lain. Salah satunya melalui cara pengungkapan rasa syukur, yang kemudian dilengkapi dengan ungkapan rasa untuk menghormati leluhur dengan cara melaksanakan "upacara adat”.
Salah satunya adalah adat “Unduh-unduh”, yang mana adat ini termasuk bentuk dari serangkaian ungkapan rasa syukur umat Kristiani yang tergabung dalam Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan yang telah terlaksana sejak tahun 1923. Tepatnya, sejak GKJW yang berdiri pada tahun 1871 terlepas dari Belanda. Secara administratif, gereja ini terletak pada Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang.
Adat “Unduh-unduh” itu sendiri, merupakan suatu ungkapan dari Jemaat Kristiani yang merasa sudah diberi berkat oleh Tuhan, khususnya berupa hasil panen yang melimpah. Upacara “unduh-unduh” ini dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu pada bulan Mei. Untuk tahun ini, upacara digelar pada hari Minggu, (08/5) kemarin. Serangkaian kegiatan mulai dilaksanakan pada pagi hingga siang hari. Digelar sejak pukul 05.30 hingga 14.00 waktu setempat. Sebenarnya adat “unduh-unduh” ini bukan tergolong sebagai sebuah ritual kecil. Adat “unduh-unduh” ini disiapkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini tercermin dari besarnya ukuran bangunan yang mereka buat, dengan desain yang terbilang unik dan sedikit rumit.
Bangunan yang dimaksud, berupa arak-arakan semacam “ogoh-ogoh” di Bali, dibentuk berdasarkan tema masing-masing. Setiap tema didirikan berdasarkan Blok yang diambil dengan merujuk pada kisah-kisah Alkitab. Misalnya pada kisah Nabi Yunus yang dimakan ikan paus. Kisah tersebut, kemudian diekspresikan dengan membuat bangunan ikan paus besar yang didalamnya terdapat patung menyerupai Nabi Yunus yang sengaja dimasukkan ke dalamnya.
Desain bangunan yang ada, dilapisi padi yang kemudian di-desain sedemikian rupa hingga menutupi kerangka bangunan. Sementara di sekelilingnya, terdapat aneka persembahan berupa parsel buah-buahan seperti (apel, jeruk, nanas, pisang), sayur-sayuran seperti (kubis, kol, cabe, kacang panjang), serta beberapa jenis ubi-ubian. Selain parsel dan padi, terdapat juga hasil ternak berupa kambing yang merupakan hasil sumbangan dari warga per-Blok.
Secara umum, ada lima bangunan yang mereka arak. Hal ini sesuai dengan kehadiran lima Blok yang mewakili keberadaan umat Kristen di sana. Blok tersebut, terdiri dari Blok Mojojejer, Blok Mojowangi, Blok Mojowarno, Blok Mojoroto, serta Blok Mojodukuh.
Setiap Blok pun, memiliki kreativitas desain yang berbeda-beda. Misalnya pada Blok Mojojejer. Arak-arakan mereka kala itu, dimeriahkan dengan kehadiran kesenian Reog yang berjalan di depan bangunan. Sementara Blok Mojowangi, tampak diringi dengan Drum Band perwakilan dari SDN Mojowangi. Tak lupa, arak-arakan juga diiringi dengan lagu-lagu pujian sebagai persembahan rasa syukur atas berkah yang diperoleh dari Tuhan.
Pada awalnya, prosesi “unduh-unduh” ini diiringi dengan proses arak-arakan yang berangkat dari asal Blok masing-masing. Kemudian,  “unduh-unduh” diarak hingga sampai di depan Gereja. Berikutnya, bangunan menuju ke dalam pelataran Gereja. Sesampainya di dalam Gereja, Jemaat Kristen yang mengikuti iringan bangunan, mulai melakukan doa bersama.
Setelah itu, Jemaat berpindah tempat untuk melakukan proses “lelang” dari hasil bumi yang ada pada setiap bangunan per-Blok. Lima bangunan yang ada di pelataran Gereja, kemudian dipindahtempatkan hingga berada di lapangan samping Gereja yang sebelumnya memang telah dipersiapkan sebagai tempat untuk proses pelelangan. Proses lelang ini dimulai pada pukul 10.00-14.00 WIB yang dihadiri oleh Jemaat Kristiani dan warga setempat lain. Di sini, tak hanya jemaat saja yang hadir, warga non Kristiani pun tampak turut meramaikan acara ini.
Sebelum diadakan pelelangan, terdapat enam orang wanita memakai pakaian kebaya dan memakai topi tani atau caping yang sedetik kemudian tampak memukul-mukulkan alat penumbuk padi atau alu, pada alas penumbuk yang biasa disebut sebagai lesung yang  terbuat dari kayu. Berikutnya, fase ini diiringi oleh seorang wanita sebagai penyanyi dari iringan musik yang berasal dari bunyi pukulan alu. Dengan dibalut irama teratur, terdengar lirik yang dilantunkan dalam Bahasa Jawa.
Sesaat kemudian, acara dibuka oleh Pendeta. Usai dibuka, kemudian dilakukan proses lelang. Proses lelang berlangsung meriah, karena semua Jemaat baik yang berasal dari Kecamatan Mojowarno maupun yang berasal dari daerah lain, turut melakukan lelang. Bahkan, beberapa tamu undangan terlihat turut andil dalam meramaikan lelang.
Pelelangan menggunakan tiga meja yang disiapkan oleh panitia untuk meletakkan hasil panen dalam setiap parsel yang dibungkus sedemikian rupa. Di sana, tertulis nominal harga dari parsel tersebut. Parsel yang dilelang diletakkan di atas meja sesuai dengan urutan Blok masing-masing.
Dalam perjalanannya, sebuah meja mengusung 8 hingga 10 parsel. Baik parsel yang berisi buah-buahan, sayur-sayuran, hingga hasil ternak atau kambing yang langsung diambil dari kandang kambing yang diarak.
Harga lelang pada awalnya ditetapkan oleh panitia melalui sebuah meja yang berisi 8 parsel. Sementara untuk seekor kambing, bisa dilelang dengan harga Rp. 600 ribu. Banderol harga ini, kemudian ditawarkan kepada Jemaat hingga sampai pada harga tertinggi yang disepakati. Biasanya, harga bergerak lebih tinggi Rp. 2 juta dari harga tertinggi yang disepakati. Setiap meja terlihat memiliki harga lelang yang berbeda-beda. Ini tergantung pada peran penawar harga tertinggi, disamping juga merujuk pada jenis barang yang dilelang.
Jika kita amati lebih dekat, setiap meja harga terlihat akan terus bertambah naik dari harga tawaran yang disampaikan panitia kepada peserta lelang. Para jemaat meyakini, bahwa semakin tinggi jarak antara harga lelang dengan harga asal, barang-barang tersebut dilihat lebih mengandung “berkah”. Jadi mereka telah memaknai kenaikan harga barang lelang, sebagai bentuk kandungan berkah yang tersimpan pada barang.
Namun, barang yang dilelang hanya mencakup hasil buah-buahan, termasuk sayuran dan ternak. Untuk padi, tidak diikutkan lelang, karena akan langsung dimasukkan ke dalam lumbung atau gudang padi yang berada di Gereja, dan nantinya akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan di Gereja. Demikian, “unduh-unduh” masih tetap berarak, mengiringi gemerlap kemajuan jaman. Melalui pengetahuan tentang prosesi ini, hendaknya setiap nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat, dibiarkan tetap bersemi dan mewarnai kerukunan hidup bermasyarakat. Dilestarikan, hingga sanggup memeluk segenap komponen anak bangsa, agar bangga menjadi bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang memiliki kekayaan nilai budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar