ADAT
UNDUH-UNDUH: TRADISI JEMAAT GEREJA KRISTEN JAWI WETAN DI KECAMATAN MOJOWARNO,
KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR
Oleh: Chairul
Anam
Eksistensi masyarakat akan budayanya dapat ditunjukkan
dengan berbagai kegiatan sebagai pendukung budayanya. Bentuk kegiatan yang
diwujudkan akan berbeda-beda satu sama lain. Salah satunya melalui cara
pengungkapan rasa syukur, yang kemudian dilengkapi dengan ungkapan rasa untuk
menghormati leluhur dengan cara melaksanakan "upacara adat”.
Salah satunya adalah adat “Unduh-unduh”, yang mana adat ini
termasuk bentuk dari serangkaian ungkapan rasa syukur umat Kristiani yang
tergabung dalam Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan yang telah terlaksana sejak
tahun 1923. Tepatnya, sejak GKJW yang berdiri pada tahun 1871 terlepas dari
Belanda. Secara administratif, gereja ini terletak pada Kecamatan Mojowarno,
Kabupaten Jombang.
Adat “Unduh-unduh” itu sendiri, merupakan suatu ungkapan
dari Jemaat Kristiani yang merasa sudah diberi berkat oleh Tuhan, khususnya
berupa hasil panen yang melimpah. Upacara “unduh-unduh” ini dilaksanakan setiap
setahun sekali, yaitu pada bulan Mei. Untuk tahun ini, upacara digelar pada
hari Minggu, (08/5) kemarin. Serangkaian kegiatan mulai dilaksanakan pada pagi
hingga siang hari. Digelar sejak pukul 05.30 hingga 14.00 waktu setempat. Sebenarnya
adat “unduh-unduh” ini bukan tergolong sebagai sebuah ritual kecil. Adat “unduh-unduh”
ini disiapkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini tercermin dari
besarnya ukuran bangunan yang mereka buat, dengan desain yang terbilang unik
dan sedikit rumit.
Bangunan yang dimaksud, berupa arak-arakan semacam
“ogoh-ogoh” di Bali, dibentuk berdasarkan tema masing-masing. Setiap tema
didirikan berdasarkan Blok yang diambil dengan merujuk pada kisah-kisah
Alkitab. Misalnya pada kisah Nabi Yunus yang dimakan ikan paus. Kisah tersebut,
kemudian diekspresikan dengan membuat bangunan ikan paus besar yang didalamnya
terdapat patung menyerupai Nabi Yunus yang sengaja dimasukkan ke dalamnya.
Desain bangunan yang ada, dilapisi padi yang kemudian
di-desain sedemikian rupa hingga menutupi kerangka bangunan. Sementara di
sekelilingnya, terdapat aneka persembahan berupa parsel buah-buahan seperti (apel,
jeruk, nanas, pisang), sayur-sayuran seperti (kubis, kol, cabe, kacang panjang),
serta beberapa jenis ubi-ubian. Selain parsel dan padi, terdapat juga hasil
ternak berupa kambing yang merupakan hasil sumbangan dari warga per-Blok.
Secara umum, ada lima bangunan yang mereka arak. Hal ini
sesuai dengan kehadiran lima Blok yang mewakili keberadaan umat Kristen di
sana. Blok tersebut, terdiri dari Blok Mojojejer, Blok Mojowangi, Blok
Mojowarno, Blok Mojoroto, serta Blok Mojodukuh.
Setiap Blok pun, memiliki kreativitas desain yang
berbeda-beda. Misalnya pada Blok Mojojejer. Arak-arakan mereka kala itu,
dimeriahkan dengan kehadiran kesenian Reog yang berjalan di depan bangunan.
Sementara Blok Mojowangi, tampak diringi dengan Drum Band perwakilan dari SDN
Mojowangi. Tak lupa, arak-arakan juga diiringi dengan lagu-lagu pujian sebagai
persembahan rasa syukur atas berkah yang diperoleh dari Tuhan.
Pada awalnya, prosesi “unduh-unduh” ini diiringi dengan
proses arak-arakan yang berangkat dari asal Blok masing-masing. Kemudian,
“unduh-unduh” diarak hingga sampai di depan Gereja. Berikutnya, bangunan menuju
ke dalam pelataran Gereja. Sesampainya di dalam Gereja, Jemaat Kristen yang
mengikuti iringan bangunan, mulai melakukan doa bersama.
Setelah itu, Jemaat berpindah tempat untuk melakukan proses
“lelang” dari hasil bumi yang ada pada setiap bangunan per-Blok. Lima bangunan
yang ada di pelataran Gereja, kemudian dipindahtempatkan hingga berada di
lapangan samping Gereja yang sebelumnya memang telah dipersiapkan sebagai
tempat untuk proses pelelangan. Proses lelang ini dimulai pada pukul 10.00-14.00
WIB yang dihadiri oleh Jemaat Kristiani dan warga setempat lain. Di sini, tak
hanya jemaat saja yang hadir, warga non Kristiani pun tampak turut meramaikan
acara ini.
Sebelum diadakan pelelangan, terdapat enam orang wanita
memakai pakaian kebaya dan memakai topi tani atau caping yang sedetik kemudian
tampak memukul-mukulkan alat penumbuk padi atau alu, pada alas penumbuk yang
biasa disebut sebagai lesung yang terbuat dari kayu. Berikutnya, fase ini
diiringi oleh seorang wanita sebagai penyanyi dari iringan musik yang berasal
dari bunyi pukulan alu. Dengan dibalut irama teratur, terdengar lirik yang
dilantunkan dalam Bahasa Jawa.
Sesaat kemudian, acara dibuka oleh Pendeta. Usai dibuka,
kemudian dilakukan proses lelang. Proses lelang berlangsung meriah, karena
semua Jemaat baik yang berasal dari Kecamatan Mojowarno maupun yang berasal
dari daerah lain, turut melakukan lelang. Bahkan, beberapa tamu undangan
terlihat turut andil dalam meramaikan lelang.
Pelelangan menggunakan tiga meja yang disiapkan oleh panitia
untuk meletakkan hasil panen dalam setiap parsel yang dibungkus sedemikian
rupa. Di sana, tertulis nominal harga dari parsel tersebut. Parsel yang
dilelang diletakkan di atas meja sesuai dengan urutan Blok masing-masing.
Dalam perjalanannya, sebuah meja mengusung 8 hingga 10
parsel. Baik parsel yang berisi buah-buahan, sayur-sayuran, hingga hasil ternak
atau kambing yang langsung diambil dari kandang kambing yang diarak.
Harga lelang pada awalnya ditetapkan oleh panitia melalui
sebuah meja yang berisi 8 parsel. Sementara untuk seekor kambing, bisa dilelang
dengan harga Rp. 600 ribu. Banderol harga ini, kemudian ditawarkan kepada
Jemaat hingga sampai pada harga tertinggi yang disepakati. Biasanya, harga
bergerak lebih tinggi Rp. 2 juta dari harga tertinggi yang disepakati. Setiap
meja terlihat memiliki harga lelang yang berbeda-beda. Ini tergantung pada
peran penawar harga tertinggi, disamping juga merujuk pada jenis barang yang
dilelang.
Jika kita amati lebih dekat, setiap meja harga terlihat akan
terus bertambah naik dari harga tawaran yang disampaikan panitia kepada peserta
lelang. Para jemaat meyakini, bahwa semakin tinggi jarak antara harga lelang
dengan harga asal, barang-barang tersebut dilihat lebih mengandung “berkah”.
Jadi mereka telah memaknai kenaikan harga barang lelang, sebagai bentuk
kandungan berkah yang tersimpan pada barang.
Namun, barang yang dilelang hanya mencakup hasil
buah-buahan, termasuk sayuran dan ternak. Untuk padi, tidak diikutkan lelang,
karena akan langsung dimasukkan ke dalam lumbung atau gudang padi yang berada
di Gereja, dan nantinya akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan di Gereja. Demikian,
“unduh-unduh” masih tetap berarak, mengiringi gemerlap kemajuan jaman. Melalui
pengetahuan tentang prosesi ini, hendaknya setiap nilai-nilai yang tumbuh di
masyarakat, dibiarkan tetap bersemi dan mewarnai kerukunan hidup bermasyarakat.
Dilestarikan, hingga sanggup memeluk segenap komponen anak bangsa, agar bangga
menjadi bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang memiliki kekayaan nilai budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar